Suara teriakan anak-anak dari luar membuat suasana istirahat menjadi ramai. Anak-anak berlari-larian, yang terkadang membuat terkejut serta was-was. Khawatir jika mereka bermain berlebihan.
“Srakkk,” bak suara orang terpeleset di lapangan.
Kepala ini otomatis berputar menengok ke arah luar. Benar saja, ada anak yang jatuh.
“Fathir jatuh, Teman-Teman,” teriak Rafa.
Beberapa temannya menghampiri. Memedulikan keadaan Fathir. Fathir menangis. Ia kesakitan. Ia tidak segera bangkit. Teman-temannya membantu. Jalan mereka terhenti di selasar. Saya mempersilakan Fathir masuk, memintanya minum, dan beristirahat dulu. Fathir menurut sembari menangis. Kemudian ia menghampiri saya lagi.
“Ada yang luka nggak, Fathir?” tanya saya.
“Ini,” jawabnya, masih menangis, sambil menunjukkan siku bagian luar lengan kirinya yang lecet.
Saya dan Bu Wiwik lekas mengobati lukanya dengan obat merah andalan kami.
Fathir sudah tidak lagi menangis. Tetapi wajahnya masih menampakkan kesedihan.
“Nanti kalau kena air wudu gimana, Bu?” tanyanya.
“Gak apa-apa, nanti Bu Eva kasih obat lagi,”
Bel tanda masuk sudah berbunyi. Anak-anak bersiap untuk wudu melaksanakan salat Duha. Fathir menghampiri saya lagi. Ia menunjukkan lukanya yang ada di kaki kirinya, di area tumit. Berdarah. Saya dan Bu Wiwik bersepakat mengobatinya setelah berwudu.
Setelah berwudu, Bu Wiwik membalut luka Fathir dengan kasa. Fathir sama sekali tak menggunakan sakitnya sebagai alasan untuk tidak salat Duha. Selama wudu ia juga tak mengeluh sakit atau perih. Ia tetap mengikuti salat Duha dengan baik tanpa keluhan. Padahal sudah jelas bagian tumit akan tertekan ketika duduk.
Fathir anak laki-laki yang tangguh dan ceria. Ia tak mudah mengeluh. Meski terkadang ia mudah menangis jika digoda temannya. Namun tak begitu sulit untuk menghiburnya lagi. Mengalami kecelakaan ketika bermain memang bukan kali pertama untuk Fathir. Bisa jadi hal itu yang membuatnya tangguh.