“Saf pertama putra, silakan menuju kelas,” aba-aba Pak Kambali.
Murid-murid yang duduk di saf pertama beranjak. Mereka salim kepada para guru, lalu mengembalikan sajadah ke kotak yang tersedia. Kemudian bergegas menuju kelas.
Di selasar kelas, terdapat dua meja. Di atasnya telah tersusun beberapa tumpuk kotak katering. Berisi menu makan siang murid-murid. Setiap murid mengantre mengambil kotak yang paling atas. Mereka lantas masuk kelas, tak lupa mengambil botol minum masing-masing.
Kapten Aza memimpin doa sebelum makan.
“Sikap berdoa!”
“Tangan diangkat!” aba-aba kapten sembari mengamati semua temannya.
“Rama!” panggil Aza.
Yang dipanggil namanya tersadar. Rama lantas memperbaiki sikapnya sesuai petunjuk kapten.
“Kepala menunduk! Berdoa mulai!”
Murid-murid melafalkan doa sebelum makan dengan kompak. Diakhiri ucapan terima kasih kepada kapten karena telah memimpin doa.
“Anak-Anak, silakan makan dengan tenang,” perintah Bu Wiwik.
Sepuluh menit kemudian, bel berbunyi. Murid-murid otomatis mempercepat makan mereka. Ada pula yang sudah selesai makan.
“Teman-Teman, makannya tidak perlu buru-buru. Dihabiskan dulu,” jelas Bu Wiwik.
Tetap saja, murid-murid ingin menyegerakan makan mereka. Lima menit berselang, hampir semua murid telah selesai makan. Mereka lantas memakai kaus kaki, lalu duduk di karpet. Kapten Aza sudah siap di depan.
Bu Wiwik menyudahi makannya. Ia mengamati murid-muridnya. Ada Rama dan Fathir, yang sedang memakai kaus kaki. Ada pula Dea, yang tengah membereskan lepaknya.
Dea berjalan ke arah pintu kelas. Rupanya Gibran sudah menanti di depan pintu. Gibran mengulurkan tangannya. Dea menyerahkan lepaknya kepada Gibran. Gibran menaruh lepak itu di tumpukan yang telah tersusun sebelumnya.
Hampir setiap hari Gibran melakukan ini. Meminta lepak teman-temannya untuk ditata. Gibran menata semua lepak dengan rapi. Masing-masing tumpukan terdiri dari empat lapis.
Kapten Aza, yang tadinya berdiri di depan, bergegas menuju meja kelompok pisang. Bu Wiwik memperhatikan apa yang dilakukan Aza. Rupanya Aza melihat ada dua botol minum di atas meja kelompok pisang. Botol minum itu milik Rara dan Vano. Mereka lupa mengembalikan. Dengan sigap, Aza mengambil kedua botol minum itu. Ia lantas menaruhnya di tempat yang semestinya, yakni di meja biru di bagian belakang ruang kelas.
Tak hanya itu, Aza juga menyusupkan kursi Vano ke kolong meja. Aza kembali ke depan kelas dengan jalan berjingkat khas anak-anak. Bibirnya tersenyum. Gestur dan mimik wajahnya nyata terlihat bahwa ia senang melakukannya. Aza tak sadar, aksinya diperhatikan oleh gurunya.
Tak hanya Aza. Vira juga melakukan hal yang sama. Ia tanggap melihat botol minum Rafa yang tertinggal di meja Rafa. Vira segera mengembalikan botol itu ke meja biru. Vira juga menyusupkan kursi Rafa ke kolong mejanya.
Kejadian beruntun itu disaksikan dengan saksama oleh Bu Wiwik. Satu hal terpikir olehnya. Nanti akan dieksekusi.
Kapten kembali memimpin doa. Kali ini, doa sesudah makan. Seusai berdoa, Bu Wiwik mengawali refleksi.
“Teman-Teman, sudah lama sekali, Bu Wiwik dan Bu Eva mengamati keistikamahan salah satu teman kalian. Setiap hari ia menata kotak katering kalian,” jelas Bu Wiwik mengawali refleksi.
“Oh, Gibran!” seru murid-murid.
“Betul sekali!” jawab Bu Wiwik, “Bu Wiwik juga bangga, selain Mas Gibran, ada pula dua orang teman kalian yang berbuat baik dengan ikhlas. Mereka berdua mengembalikan botol minum Rara, Vano, dan Rafa. Juga menyusupkan kursi mereka ke kolong mejanya,” lanjut Bu Wiwik.
Aza tersenyum. Pun Vira.
“Insyaallah, mereka berdua melakukannya dengan ikhlas. Mereka berdua tidak melaporkan perbuatan baiknya kepada Bu Wiwik atau Bu Eva. Alhamdulillah, Allah memberikan petunjuk, sehingga Bu Wiwik menyaksikan kebaikan mereka.”
Murid-murid penasaran. Tetiba, Rara menceletuk, “Saya tahu orangnya.”
“Siapa, Mbak Rara?”
“Aza,” jawabnya.
“Sama Vira, Bu,” respons Rafa.
“Iya, betul sekali! atas kebaikan Mas Gibran, Mbak Aza, dan Mbak Vira, maka Bu Guru akan memberikan bintang. Silakan maju.”
Ketiga anak yang namanya disebutkan oleh Bu Wiwik maju menuju meja guru. Bu Wiwik membuka laci mejanya. Ia mengambil tiga buah stiker berbentuk bintang. Gibran, Aza, dan Vira menuliskan nama mereka masing-masing. Ketiga anak itu lalu menempelkan stikernya ke sebuah “roket” yang tertempel di dinding kelas.
Kebaikan yang dilakukan Gibran, Aza, dan Vira tampak autentik. Setidaknya dari kacamata pengamatan Bu Wiwik. Ketiganya berbuat baik tanpa ada beban. Bahkan, melakukannya dengan senang hati. Tidak pula mereka tampak ingin dilihat oleh gurunya. Natural. Apa adanya. Bu Wiwik yakin, mereka tak menduga jika akan mendapatkan bonus bintang.
“Terima kasih, Gibran, Aza, dan Vira. Kalian telah mengingatkan gurumu ini untuk selalu mengenolkan ekspektasi.”