Juliyan Rizki Adhitya
“Guru: Apa Profesinya?” tanya Pak Teguh, membuka bincang-bincang santai pada Sabtu, 21 Oktober 2023.
Pertanyaan itu tidak menuntut jawaban dari kami, guru-guru SD Islam Hidayatullah 02, yang mengikuti perbincangan. Penanya sekadar bermaksud menguatkan kesadaran kami bahwa guru melakoni multiprofesi sekaligus.
Sehari sebelumnya, pertanyaan itu dijadikan judul artikelnya di situs ini. Menurut pengakuannya, kesadarannya akan peran multiprofesi yang dilakoni guru itu terpantik isi percakapan kami. Melalui platform Telegram, kami membentuk dua grup percakapan: “Daily Activity Kelas 1” dan “Daily Activity Kelas 2”. Setiap hari kami mengunggah catatan-catatan kecil. Isinya, aktivitas anak-anak yang “menyentuh hati” kami.
Dalam artikelnya, Pak Teguh mengidentifikasi setidaknya tujuh profesi yang dirangkap guru: jurnalis, hakim, diplomat, psikolog, konselor, dukun, dan polisi. Masing-masing dijelaskan buktinya berdasarkan catatan-catatan anekdotal kami di grup percakapan.
“Teman-Teman merasa jadi agen perjalanan, nggak?” tanyanya, yang kemudian dijawab sendiri, “Ya, panjenengan setiap hari mengatur ‘jadwal perjalanan’ anak dari pagi hingga siang. Bahkan juga memastikan ‘perjalanan’ mereka aman dari hari ke hari sepanjang tahun.”
Seperti ditulis pada bagian akhir artikelnya, di awal bincang-bincang ini kami diajak melengkapi daftar profesi yang diperankan guru.
“Teman-Teman merasa jadi baby sitter, tidak?” selorohnya lagi, sambil tersenyum.
Kami semua menjawabnya dengan senyuman pula. Pertanda, kami merasa akrab dengan peran yang ditanyakan.
“Seandainya tiap-tiap peran itu dihargai sepadan dengan profesi masing-masing, berapa yang layak diterima guru?” godanya, yang lagi-lagi dijawab sendiri, “Kalau kenyataannya jauh dari itu, yakini saja bahwa kekurangannya itu simpanan untuk diunduh di ‘sana’.”
Begitulah cara Pak Teguh menghidupkan harapan kami. Motivasi pelipur lara semacam itu terasa makin relevan, mengingat bincang-bincang kali ini mengangkat tema yang terbilang rumit.
“Bersahabat dengan Anak ADHD”. Demikian judul risalah ringkas yang kami terima beberapa hari sebelumnya. Dari bahan diskusi yang disiapkan Pak Teguh itulah, kali pertama saya mengenal istilah ADHD. Juga baru di forum Sabtu pagi itulah saya jadi tahu, ternyata sebutan anak berkebutuhan khusus (ABK) tidak hanya meliputi mereka yang memiliki keterbatasan fisik atau mental.
Dari bahan tertulis yang hanya sepanjang lima halaman itu, hanya beberapa poin krusial yang diulas di forum. Selebihnya, kami menceritakan pengalaman-pengalaman istimewa yang kami jumpai ketika membersamai anak-anak. Tidak terelakkan, kami pun ngrasani beberapa anak yang sering membuat kami bertanya-tanya.
Tenang, … yang kami gunjingkan sebatas gejala-gejala yang tampak pada perilaku mereka. Lalu kami cocokkan dengan identifikasi yang dilakukan oleh para ahli pada cabang-cabang ilmu terkait. Ujung-ujungnya, kami mencari bentuk-bentuk akomodasi dan intervensi yang fisibel. Tentu, merujuk pada hasil kajian empiris yang dapat dilacak di sejumlah literatur.
Jadi, rerasan informal yang melibatkan seluruh guru, termasuk Kepala Sekolah, Sabtu pagi itu digelar demi menjawab kebutuhan anak-anak: layanan optimal.
Sayangnya, kami keburu beralih ke agenda lain sebelum seluruh unek-unek tertumpahkan. Maklum, bincang-bincang ini kami sisipkan di sela-sela kesibukan pada masa penerimaan peserta didik baru (PPDB).