“Bagaimana Pak, anak kami?”

Seorang ibu bertanya tentang hasil tes anaknya. Bersama suami, pagi itu beliau mengantar anaknya ke calon sekolah barunya. Ayahnya sudah sekitar dua bulan berdinas di Kota Lumpia karena dipindahtugaskan. Anaknya harus menunggu kenaikan kelas untuk menyusul pindah sekolah ke Semarang.

“Bisa diterima atau tidak, Pak,” tanya si ibu lagi, dengan ekspresi khawatir.

Saya tunjukkan pekerjaan ananda, sebut saja Mr. Saya gelar lembar corat-coret saya. Maksud hati ingin membuat catatan hasil pengamatan, tetapi hasilnya hanya corat-coret dan hanya saya sendiri yang bisa membacanya.

Yang saya berikan untuk dikerjakan Mr ialah soal tes kenaikan kelas. Dua mata pelajaran: Bahasa Indonesia dan Matematika. Yang harus dikerjakan hanya soal-soal yang nomornya saya lingkari. Masing-masing tidak sampai sepuluh nomor.

Untuk kinerjanya dalam tes Matematika, corat-coret saya buat berdasarkan langkah-langkah penghitungan yang dilakukan Mr. Untuk merekam kinerjanya dalam tes Bahasa Indonesia, saya mesti sering “menginterogasi” Mr untuk merunut penalarannya. Itulah alasan saya—dahulu, ketika jadi sesuatu—untuk tidak mendelegasikan pengetesan calon murid pindahan kepada orang lain.

“Penjelasan Bapak persis. Memang seperti itu kondisi anak kami,” komentar si ibu, yang kedua matanya mulai berkaca-kaca.

“Jadi, …,” timpal si bapak, tetapi terpotong oleh penjelasan saya.

Saya tebak, beliau hendak menyimpulkan bahwa kami tidak bisa menerima Mr. Saya harus memotongnya sebelum kesimpulan itu terucap.

Saya jelaskan secara terbuka kondisi sekolah kami. Kelas-kelas kami terbilang gemuk. Tidak ada guru pendidikan khusus. Tidak ada psikolog. Tidak ada konselor. Saya sampaikan gambaran terburuk yang mungkin dialami Mr kalau bersekolah di tempat kami.

“Jadi, keputusan akhir ada pada Ibu dan Bapak, bukan kami,” pungkas saya.

Rupanya keduanya sepakat bulat untuk memindahkan anaknya ke sekolah kami. Lalu mengalirlah curahan hati pasangan suami istri itu. Terungkap jelas betapa berat perasaan mereka menerima kehadiran Mr, anak satu-satunya di keluarga mereka. Sambil bercerita, keduanya tak henti-hentinya menitikkan air mata.

“Ibu dan Bapak patut bersyukur atas kepercayaan ini. Terpilih untuk menerima, mengasuh, dan membesarkan buah hati seperti Mr itu anugerah istimewa. Tidak semua orang tua dipercaya menerima amanah serupa. Pada saatnya nanti Ibu dan Bapak akan menuai buah kesabaran Ibu dan Bapak,” hibur saya.

Pada beberapa bulan pertama di sekolah kami, dua pekan sekali Mr harus melanjutkan terapi di kota asalnya, Bekasi. Bersyukur, akhirnya ia menemukan rumah sakit di Semarang yang menyediakan layanan terapi serupa.

Empat tahun menjalani hari-hari yang penuh perjuangan, akhirnya Mr lulus dari sekolah kami. Hasil ujian akhirnya bertengger di peringkat ke-3. Lalu Mr lolos seleksi masuk kelas akselerasi di salah satu SMP favorit. Nilai tesnya menempati urutan ke-22 tertinggi.

***

Perjumpaan dengan Mr itulah yang membuka kesadaran baru saya: harus memutakhirkan pengetahuan. Di bangku sekolah dahulu, saya hanya mengenal lima kategori keabnormalan. Sebutan untuk penyandangnya pun mencerminkan stigmatisasi: tuna. Kelimanya ialah tunanetra, tunarungu/wicara, tunagrahita, tunadaksa, dan tunalaras.

Mr tidak mengalami salah satu ketunaan itu. Indra penglihatnya bagus. Indra pendengarnya normal. Memang ia mengalami sedikit gangguan wicara. Namun, itu bukan akibat kelainan organ bicaranya. Organ geraknya lengkap dan berfungsi sempurna. Ia juga tidak mengalami masalah dalam pergaulan.

Mr memaksa saya belajar. Ternyata ilmu pengetahuan tidak pernah mencapai terminal. Hanya sesekali ia berhenti sesaat di halte, lalu melanjutkan perjalanan yang tak berujung. Belajar pun jadi tidak pernah tuntas.

Sejak itu saya harus mengubah cara pandang terhadap anak-anak yang menunjukkan gejala-gejala berbeda dari teman-temannya. Kesulitan perilaku anak tidak selalu dilakukan secara sengaja. Banyak “kenakalan” yang terjadi di luar kendali pelakunya. Kesulitan belajar tidak selalu menandakan rendahnya kecerdasan. Frekuensi gelombang sensoris yang tidak akur sering melahirkan “kebodohan” semu.

Ketika saya masih aktif mengajar, di setiap angkatan hampir selalu ada anak “nakal” yang saleh, “bodoh” yang cerdas, atau gabungan keduanya. Tanda petik saya pakai untuk menegaskan bahwa kata-kata itu saya pinjam dari pelabelan masa lalu.

***

Semua guru ingin memberikan layanan terbaik kepada setiap muridnya, tidak terkecuali murid yang menunjukkan perilaku belajar, emosi, atau sosial “berbeda”. Namun, layanan prima kepada murid berkebutuhan khusus tidak cukup bermodalkan niat dan semangat saja. Tanpa bekal yang memadai, intervensi guru bisa tidak efektif atau bahkan kontraproduktif.

Mengantisipasi hal itu, guru-guru SD Islam Hidayatullah 02 menggelar bincang santai pada Sabtu, 21 Oktober 2023. Empat orang guru kelas, tiga guru Al-Qur’an, dan satu kepala sekolah berkumpul di salah satu ruang kelas. Saya dihadirkan sebagai saksi.

Beberapa hari sebelumnya, saya sempat melihat-lihat interaksi instruksional di kelas mereka. Di kelas 1 maupun kelas 2 ada anak yang menyedot perhatian saya. Masing-masing saya perhatikan perilaku sosialnya. Saya cermati perilaku emosinya. Saya amati perilaku belajarnya. Dugaan saya, anak-anak itu mengalami kondisi khusus tertentu.

Saya perhatikan perlakuan guru-guru terhadap anak-anak itu. Saya cermati sikap anak-anak lain kepada teman-teman mereka yang “berbeda” itu. Saya amati iklim kelas mereka. Persepsi saya: kelasnya kondusif, guru-guru dan teman-temannya suportif.

Perbincangan kami selama 2 jam lebih pagi itu berfokus pada fenomena yang tampak pada anak-anak berperilaku “khusus” itu. Kami cocokkan gejala-gejala yang terdeteksi dengan ciri-ciri yang lazim dipakai untuk mengidentifikasi anak dengan kekhususan tertentu. Kami sepakat untuk membatasi kesimpulan hanya sampai derajat “ada indikasi”.

Kami bukan ahli psikologi, neurologi, pediatri, ataupun psikiatri. Kami hanya guru dan bekas guru yang setiap hari terpapar beragam keunikan perilaku anak-anak. Di antara perilaku-perilaku unik itu, sering kami jumpai keunikan yang membutuhkan akomodasi dan intervensi khusus. Layanan akomodasi dan intervensi khusus itulah yang kami coba bincangkan untuk meramu formulanya.

Merujuk pada kekhususan akomodasi dan intervensi yang dibutuhkan itulah, di dunia pendidikan muncul sebutan “anak berkebutuhan khusus (ABK)”. Berdasarkan sumber dan kondisi kekhususannya, ABK bisa dibedakan menjadi tiga kategori: penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental-intelektual, dan penyandang gangguan sensoris.

ABK dengan disabilitas fisik dan mental/intelektual mudah dikenali karena keterbatasannya kasatmata. Sebaliknya, ABK dengan gangguan sensoris memerlukan diagnosis secara saksama untuk menentukan terapi dan intervensi yang efektif.

Bagi penyandang disabilitas total pada fungsi netra dan rungu/wicara, sekolah luar biasa (SLB) bisa menjadi pilihan utama. Di SLB, mereka berpeluang mendapatkan layanan lebih optimal daripada si sekolah reguler. Sekolah inklusif berpeluang lebih menguntungkan hanya jika tersedia sumber daya yang benar-benar memadai.

Berkebalikan lagi, SLB—misalkan ada—bagi penyandang gangguan sensoris berpeluang menghambat perkembangan potensinya. Mereka mampu beraktivitas fisik dan mental/intelektual secara normal. Mereka hanya membutuhkan “sentuhan-sentuhan” khusus untuk mengendalikan distraktornya agar tidak berkembang menjadi destroyer.

Ada indikasi gangguan sensoris itulah yang—berdasarkan identifikasi kami—dialami oleh beberapa murid di sekolah ini.

Identifikasi gejala-gejala yang muncul itu kami lakukan bukan untuk mendiagnosis kekhususan yang dialami anak-anak. Diagnosis menjadi kewenangan ahli, yang standar kualifikasi dan kompetensinya dirumuskan secara ketat. Dengan melakukan identifikasi gejala-gejalanya, setidaknya kami bisa menyediakan data jika sewaktu-waktu dibutuhkan untuk mendukung diagnosis oleh ahli yang berkompeten.

Keterlibatan ahli tentu berkontribusi sangat positif terhadap tumbuh-kembang ABK. Setelah didiagnosis, bisa dirancang program terapi yang sahih, baik metode, teknik, maupun dosisnya. Penyandang gangguan sensoris boleh jadi membutuhkan kombinasi beberapa terapi: medis, okupasi, psikologis, diet, dan lain-lain. Itu semua menjadi kewenangan ahli. Giliran tahap eksekusinya, orang tualah yang memegang otoritas.

Guru hanya menantikan bonusnya: rekomendasi ahli mengenai bentuk akomodasi dan intervensi yang dibutuhkan anak di kelas/sekolah. Tanpa pendapat ahli, guru bisa tergoda mengambil jalan pintas: obral sanksi/hukuman. Ancaman sanksi mungkin berhasil meredam sesaat jika anak merasa takut untuk menerima atau menjalaninya. Namun, begitu merasa ada celah untuk lolos dari sanksi, anak akan melampiaskan dendamnya. Kemungkinan lain, hukuman yang berulang kali dapat menimbulkan trauma berkepanjangan. Dendam atau trauma sama-sama menghasilkan penderitaan.

***

Selama mengamati interaksi pembelajaran, saya menyaksikan betapa ramah iklim kelas bagi anak-anak “berbeda” itu. Iklim kelas itu terbentuk by design, bukan by default. Ada peran kreator di sana. Kepada Kepala Sekolah, pagi itu saya tegaskan, “Itu karya guru. Layak untuk diapresiasi.”

Selama menongkrongi forum bincang-bincang, saya menyaksikan betapa passionate teman-teman guru nganthi anak-anak “berbeda” itu. Secara bergantian mereka menceritakan fenomena-fenomena unik yang mereka jumpai pada anak-anak kesayangan Sang Khalik itu. Lalu mereka ceritakan berbagai intervensi yang mereka lakukan, lengkap dengan pengakuan atas keberhasilan dan kegagalannya. Di balik sederet keterbatasan, mereka konsisten merawat optimisme: sanggup mengawal tumbuh-kembang murid, apa pun kondisinya.

Yang tidak luput dari catatan saya, riwayat konsultasi teman-teman guru dengan orang tua anak-anak. Sangat kentara kehati-hatian teman-teman guru. Sikap ekstra hati-hati itu dilatarbelakangi dua kesadaran. Pertama, mereka menghormati otoritas orang tua sebagai delegasi Tuhan dalam pengasuhan anak. Kedua, mereka menyadari keterbatasan kompetensi dan kapasitas guru dalam penatalaksanaan ABK.

Dalam setiap komunikasi konsultatif itu, teman-teman lebih banyak memosisikan diri sebagai pendengar. Ketika tiba gilirannya berbicara, yang mereka sampaikan tidak lebih dari sekadar laporan kemajuan yang dicapai si anak dan kendala-kendala yang dihadapi. Mereka sadar, tidak punya hak untuk mendikte orang tua dalam menindaklanjuti informasi yang mereka sampaikan. Keputusan merujuk anak ke ahli menjadi kewenangan orang tua.

Memang, bagi sementara kalangan, ABK masih menjadi isu sensitif. Seperti yang dialami ayah dan ibu Mr, menerima kehadiran ABK sebagai anugerah istimewa bagi sebuah mahligai rumah tangga itu sama sekali bukan perkara mudah. Kesanggupan me-reframe musibah menjadi anugerah itu memerlukan keyakinan akan janji Allah bahwa di balik satu kesulitan tersimpan berlaksa potensi kemudahan.

Saya belajar banyak dari teman-teman, guru-guru muda mitra bincang saya pagi itu. Kesabaran dan ketulusan berpadu dengan ketekunan dan kegigihan. Kesadaran akan keterbatasan ditebus dengan optimisme dan kemauan untuk terus-menerus belajar. Kegembiraan duniawi yang masih terutang dibarter dengan harapan akan kebahagiaan ukhrawi.

Untung, saya tidak punya relasi struktural dengan mereka. Seandainya ya, pasti saya terbebani tanggung jawab untuk memantaskan apresiasi atas dedikasi mereka.

 

Tabik.

Bagikan:

By Teguh Gw

Pekerja serabutan yang ingin bisa terus belajar dan belajar terus bisa

308 thoughts on “Guru-Guru yang Asyik”

Comments are closed.

Scan the code