Kegiatan BAQ (Baca Al-Qur’an) adalah kegiatan rutin. Setiap harinya di kelas satu terjadwal mulai pukul 07.15 sampai pukul 08.15. Murid-murid kelas satu terbagi menjadi tiga kelompok. Tidak tertutup kemungkinan ada kelompok BAQ yang selesai lebih awal, meski hanya selang beberapa menit.
Kebetulan Kamis (03/08/2023) pagi, sekitar pukul 08.12, kelompok BAQ dengan Bu Wiwik selesai lebih dulu. Anak-anak berhamburan keluar dari musala tempat mereka mengaji. Selesai mengaji, akan dilanjutkan pembelajaran di kelas. Ternyata ruang kelas juga digunakan untuk BAQ kelompok Ustaz Aruf. Seringnya saya pun berada di kelas.
Suara ketukan pintu terdengar dari luar kelas. Entah sekadar iseng, belum paham, atau memang lupa. Sebelumnya anak-anak sudah diberitahu. Jika teman-temannya yang berada di kelas belum selesai mengaji, maka mereka harus menunggu terlebih dahulu di luar. Tidak perlu mengetuk pintu jika tidak ada keperluan. Karena jika sudah selesai, pintu akan dibuka sebagai tanda selesainya kegiatan mengaji.
Saya beranjak dari kursi. Meja dan kursi saya letaknya memang dekat dengan pintu kelas. Saya buka pintunya, hendak menguatkan kembali perihal aturan menunggu. Ternyata ada seorang anak putra yang tengah berdiri di depan pintu. Saya dikejutkan dengan ungkapannya.
“Maaf, ya, Bu Eva. Tadi Vano,” ucap Gibran dengan raut wajah rasa bersalah.
“Iya, tidak apa-apa. Tunggu dulu, ya, Mas Gibran dan Teman-Teman.”
Hati siapa yang tak luluh mendengar ungkapan maaf dari seorang anak yang bahkan tidak bersalah. Dengan tulusnya ia mengajukan permohonan maaf atas perbuatan temannya.
Wow, bagaimana bisa anak sekecil itu mau mengorbankan diri. Jika Gibran tidak segera meminta maaf, bisa saja saya berpikir, Gibran-lah yang sengaja iseng mengetuk pintu. Namun, dia memilih berada di depan pintu seorang diri hanya untuk mewakili temannya minta maaf. Bukankah seharusnya ia menghindar agar tak disalahkan? Umumnya anak-anak juga akan membela diri dengan ungkapan “bukan saya” atau menyudutkan temannya.
Keikhlasan dan keberanian Gibran masih jarang ditemui pada anak seusianya. Terkadang, manusia yang jelas berbuat salah pun belum tentu berani mengakui kesalahannya. Keluasan hati Gibran adalah sikap positif yang bisa kita teladani.