Awal Juni 2023. Guru baru tiba. Setelah diantar ke SD Islam Hidayatullah 02, Pak Aruf—nama lengkap guru baru itu: Alaika Aruf—dipertemukan dengan saya. Kami berkenalan sekadarnya. Masih muda. Belum menikah. Rumahnya dekat, daerah Rowosari.
“Sudah diberi tahu tentang program induksi?” tanya saya.
“Sudah. Saat pembekalan,” jawab Pak Aruf.
“Baik, kali ini saya akan bicara salah satu kegiatan program induksi, yaitu tentang pembimbingan. Ada beberapa yang perlu kita sepakati di awal. Ini untuk mempermudah proses dan kenyamanan semua pihak.”
Saya mengulas tentang program induksi. Fokus pada bagian yang butuh kesepakatan untuk menyamakan persepsi. Dengan begitu, saya berharap dapat mengurangi risiko kesalahpahaman.
Pembimbingan mencakup enam materi: membaca Al-Qur’an, hafalan Al-Qur’an, hafalan doa/zikir harian, hafalan hadis, hafalan bacaan salat, dan amaliah ibadah harian. Di bagian amaliah ibadah harian, saya uraikan tentang salat lima waktu, jemaah salat, salat sunah (rawatib, duha, dan tahajud), puasa sunah, dan kebiasaan membaca Al-Qur’an.
“Sekarang kita akan menyepakati tentang puasa sunah. Pak Aruf sudah pernah puasa sunah?”
“Pernah.”
“Pernah atau sering?”
“Dulu sering, sekarang sudah jarang.”
“Baik. Bila demikian, khusus puasa, Pak Aruf boleh memutuskan sekarang, boleh memutuskan besok. Begini, puasa sunah itu banyak sekali jenisnya. Ada puasa yaumu al-bīḍ, ada puasa Senin Kamis, ada puasa Daud, puasa Arafah, dan seterusnya. Pak Aruf saya minta memutuskan, memilih puasa apa yang hendak dijalankan. Ini perlu diperjelas di awal supaya tidak terjadi salah paham. Kalau puasa Senin Kamis, saya yakin Pak Aruf sudah tahu. Bagaimana dengan puasa yaumu al-bīḍ dan puasa Daud, sudahkah Pak Aruf tahu?”
“Sudah, Pak.”
“Baik, Pak Aruf tidak perlu sungkan untuk memilih walaupun itu yang paling ringan. Sebab ini memang betul-betul bersifat opsional. Yang justru saya minta: setelah memilih, Pak Aruf harus berkomitmen menjalaninya sepenuh hati. Sebagai pembanding dan contoh, di SD 02 ini sudah ada tiga pengabdi yang telah menjalani program induksi dasar. Ketiganya memilih puasa yaumu al-bīḍ. Nah, Pak Aruf hendak memutuskan sekarang atau besok? Tidak mengapa jika Pak Aruf hendak memutuskan besok, malah punya kesempatan untuk berpikir, sehingga keputusannya betul-betul meyakinkan.”
“Sekarang saja, Pak Kambali.”
“Yakin sekarang?”
“Yakin, Pak. Saya pilih puasa Senin Kamis.”
Deg. Saya kaget. Kalau yaumu al-bīḍ, sebulan hanya tiga hari: tanggal 13, 14, dan 15. Jadi selama masa magang sebanyak 9 hari. Standar minimalnya 35%. Berarti, 35% × 9 hari = 4 hari. Lha ini, Senin Kamis. Sepekan 2 hari. Berarti selama masa magang sebanyak 24 hari. Standar minimalnya = 9 hari. Mampukah Pak Aruf menjalaninya? Padahal pengalaman beberapa pengabdi sebelumnya, puasa yaumu al-bīḍ saja termasuk sangat berat. Apalagi puasa Senin Kamis.
Saya sangat khawatir Pak Aruf gagal menjalaninya. Hingga saya terpikir untuk menganulirnya. Tetapi saya merasa malu. Bukankah saya sudah memberi kesempatan kepada Pak Aruf untuk memilih? Mengapa setelah beliau memilih malah saya anulir? Lagi pula, belum tentu Pak Aruf kesulitan menjalaninya. Jangan-jangan saya saja yang terlalu buruk sangka.
“Pak Aruf sudah betul-betul mantap memilih Senin Kamis?” tanya saya sekadar menguatkan diri saya sendiri.
“Sudah, Pak.”
***
Pertengahan Agustus 2023. Saatnya menyusun rekap penilaian Pak Aruf. Selama menjalani program induksi dasar. Saya kumpulkan semua berkas. Semua data saya entrikan ke dalam MS Excel.
Ups, ada yang janggal. Persentase puasa tertulis 106%. Saya cermati rumus di cell terkait. Sudah benar. Saya cek kolom dan baris terkait. Ketemu. Ada dua pekan yang isinya mencurigakan. Tapi itu rekap, saya tidak bisa langsung memutuskan salah entri.
Saya lihat jurnal pada dua pekan tersebut. Ketemu. Selain Senin Kamis, Pak Aruf juga puasa di hari lain. Selama tiga hari. Saya cek tanggalnya. 27 Juni 2023, 28 Juni 2023, dan 28 Juli 2023. Saya lihat kalender. Ternyata hari Tarwiyah, Arafah, dan Tasū’a.
Masyaallah. Betul-betul prestasi luar biasa. Walau standar minimalnya 35%, capaian Pak Aruf justru melebihi 100%. Pak Aruf ternyata benar-benar berkomitmen dengan pilihannya. Saya jadi sangat malu. Sudah buruk sangka. Yang cenderung meremehkan.
Kini, bukti di depan mata. Saya sudah melihat pembuktian yang dilakukan Pak Aruf. Kekhawatiran saya sudah terpatahkan. Bahkan walau hanya satu-satunya yang berpuasa Senin Kamis di SD Islam Hidayatullah 02, Pak Aruf tetap menunjukkan sikap istikamahnya. Semoga sikap istikamah beliau menular kepada orang-orang di sekitar beliau. (A1)
[…] Baca juga: Pembuktian […]
semoga ustadz aruf selalu istiqomah melaksanakan ibadah puasa sunnah dan kita semua di mudahkan dalam belajar melaksanakan puasa sunnah
[…] Baca juga: Pembuktian […]
Amiin ya rabbal’alamin