Saat Ramadan, anak-anak masuk kelas pukul 08.00. Akan tetapi, biasanya yang paling gasik hadir di Sekolah adalah Kalynn, Adit, dan Sabrina. Pagi-pagi begitu mereka asyik bermain di halaman sekolah, sesekali di dalam ruang kelas.
Sudah menjadi rutinitas, saat saya tiba di Sekolah, Adit dan Sabrina datang berlari-lari untuk menyambut. Kalynn menyusul. Ada yang salim, ada yang memeluk.
Biasanya Sabrina menjadi yang pertama, tetapi terkadang juga Adit. Kalau tidak sempat melihat saya atau guru lain tiba di Sekolah, Sabrina menyempatkan ke ruang guru untuk sekadar salim lalu sedikit bercerita.
Rabu (05/04/2023) pagi, saya sengaja tidak salat Duha di kos. Entah apa niat awalnya.
“Lama juga tidak salat Duha di Sekolah,” batin saya tiba-tiba.
Akhirnya, saya memutuskan berangkat ke sekolah sekitar pukul 06.50. Perjalanan dengan berjalan kaki hanya memakan waktu enam sampai tujuh menit.
Setelah menyambut saya, Sabrina mengikuti saya ke ruang guru.
“Bu Eva mau ke mana?” tanyanya ketika saya berjalan keluar.
“Bu Eva mau salat Duha dulu. Sabrina mau ikut?” jawab saya, sekaligus mengambil kesempatan untuk mengajaknya.
Obrolan itu berlangsung sembari kami berjalan menuju musala. Sabrina tidak langsung menjawab. Ia seperti berpikir sejenak. Belum ada jawaban ya atau tidak. Bisa jadi, ia ragu-ragu.
“Emm … enggak, ah,” jawabnya ketika saya tengah menata tempat salat.
“Kenapa? Sebentar aja, kok.”
“Kalau salat Duha sekarang, berarti nanti aku enggak perlu salat Duha lagi di kelas, Bu Eva?” tanya Sabrina, sesuai prediksi saya.
“Tetap salat, dong. Sabrina tahu enggak? Salat Duha itu bisa dilaksanakan sampai 12 rakaat, lo.”
Saya mencoba menjelaskan meski belum detail.
“Masa, sih? Kok banyak banget? Memang enggak capek?”
Seandainya mendengar penjelasan saya tadi, mungkin anak-anak yang lain pun akan mengajukan pertanyaan serupa.
“Insyaallah enggak kalau salatnya pelan-pelan. Sama seperti salat Tarawih, setiap dua rakaat salam. Nanti lanjut salat lagi sampai totalnya 12 rakaat. Nanti pahalanya tambah banyak,” kata saya, mencoba menguatkan.
“O, begitu?” sahut Sabrina, mulai paham. “Terus niatnya gimana, Bu Eva?”
Sudah ada “sinyal”, kemungkinan besar Sabrina akan mengiakan ajakan saya.
“Niatnya sama seperti Sabrina salat Duha di kelas. Bisa?” kejar saya, sambil membatin, “Alhamdulillah.”
“Agak lupa, Bu Eva,” jawabnya malu-malu.
Saya tuntun Sabrina melafazkan niat terlebih dahulu, baru saya melaksanakan salat. Akhirnya kami berdua melaksanakan salat Duha bersama. Alhamdulillah, Sabrina berhasil melawan keraguannya.
Pekan sebelumnya, tepatnya hari Senin, 27 Maret 2023, ada kejadian serupa perihal salat Duha. Langit menghampiri ruang guru untuk menyampaikan kalau ia sudah salat Duha di rumah.
“Bu Wiwik, aku sudah salat Duha di rumah. Nanti aku enggak ikut salat Duha lagi, ya?”
Bu Wiwik tidak mengizinkan.
“Alah, … aku mau baca buku aja, ya, Bu Wiwik?”
Bu Wiwik bergeming. Beliau tidak mengizinkan. Alasannya, sudah terjadwal. Lagi pula, salat Duha bisa dilaksanakan lebih dari dua rakaat.
“Bahkan bisa sampai 12 rakaat, lo,” timpal Ustazah Layla.
Alhamdulillah, akhirnya Langit tetap mau melaksanakan salat Duha di kelas bersama teman-temannya. Ia berhasil melawan rasa malasnya.
Jangankan anak-anak, orang dewasa pun sering mengalami kesulitan dalam melawan keraguan dan kemalasan untuk beribadah, padahal sudah tahu ilmunya serta cara mengamalkannya. Untuk istikamah, semua perlu pembiasaan.
Selagi masih kanak-kanak, Sabrina, Langit, dan kawan-kawan punya daya akomodasi dan adaptasi yang besar terhadap perilaku lingkungan sosialnya. Tinggal bagaimana lingkungan memberikan stimulasi untuk menumbuhkan kebiasaan baru.
Intensitas paparan teladan menjadi kunci pertama untuk mengenalkan kebiasaan positif. Ketika sudah tumbuh minatnya untuk mengikuti teladan, anak-anak butuh bimbingan. Ketika sudah mau mencoba kebiasaan baru, mereka butuh penguatan.
Jika belum istikamah menekuni kebiasaan baru, anak tak perlu dipaksa-paksa. Apalagi dicela. Konsistensi dan kesabaran pendidik adalah sumber energi dalam merawat nyala kegandrungan anak-anak pada kebaikan.