Suara gerinda terdengar hingga ke dalam kelas. Dua orang tukang bekerja memasang keran baru di area belakang. Pekerjaan tersebut membutuhkan penyesuaian pada kegiatan wudu anak-anak. Sultan dan Rayya yang biasanya wudu di keran 1, untuk sementara harus bergabung dengan teman-temannya di keran 7.
Siswa putra dan putri duduk di karpet. Masing-masing dua lajur. Ridho, Sultan, Sabrina, dan Hasna duduk di barisan paling depan. Di belakang Sultan ada Hafidz, Adit, Naufal, Rayya, dan Itaf. Kapten Kennard memimpin tepuk dan niat wudu.
“Nanti membasuhnya yang rata, ya. Jangan sampai seperti Langit kemarin. Ia harus mengulang wudu karena membasuh sikunya tidak rata. Betul, Mas Langit?” tanya Bu Wiwik.
Anak yang disebut namanya tersenyum.
“Ketika home visit, Bu Wiwik menanyakan kepada mama papa kalian. Ternyata, anak-anak kalau di rumah wudunya terburu-buru. Padahal di sekolah sudah lulus tes wudu. Kan, sayang. Sudah tahu ilmunya tapi tidak dilaksanakan. Rugi, dong.”
“Hehehe, kaya aku,” timpal Aza.
“Nah, kan. Anak-anak jangan mau jadi orang yang rugi, ya,” lanjut Bu Wiwik.
“Kapten boleh menuju tempat wudu. Disusul Sultan. Kemudian barisan Ridho, Sabrina, dan Hasna.”
Bu Wiwik bersegera menuju tempat wudu. Memastikan kondisinya memungkinkan untuk digunakan. Bersyukur, meski keran 1 belum bisa digunakan, air di area keran 7 masih tetap mengalir.
Saat hendak kembali ke kelas, Bu Wiwik mendapati Itaf menangis. Bu Wiwik menghentikan langkahnya. Menanyai Itaf. Itaf masih enggan bercerita. Itaf duduk dalam antrean. Emosinya semakin menjadi. Ia melempar sandalnya. Aza mengambilkan sandal itu. Itaf setengah berlari menuju kamar mandi. Bu Wiwik kembali menanyainya, tetapi tak ada jawaban.
Di dalam kamar mandi, Itaf meraung-raung. Bu Wiwik semakin khawatir. Teman-teman Itaf yang telah selesai berwudu berkerumun di depan kamar mandi yang ditempati Itaf.
“Teman-Teman kembali ke kelas, ya. Biar Bu Wiwik yang temani Mas Itaf,” pinta Bu Wiwik.
Mereka menurut. Raut muka mereka bertaburkan selaksa tanda tanya.
“Mas Itaf, ini Bu Wiwik. Mas Itaf kenapa?”
Tangis Itaf berhenti. Beberapa saat kemudian, pintu kamar mandi dibuka. Itaf keluar dari kamar mandi. Bu Wiwik mengajaknya duduk di kursi yang berjajar di depan kamar mandi.
“Mas Itaf sudah pipis?”
Itaf mengangguk. Kembali, Bu Wiwik bertanya penyebab Itaf menangis.
“Tadi Ridho nyelip. Harusnya Ridho di belakangku,” jawab Itaf terisak.
“Oh, begitu? Ya, nanti Bu Wiwik tanya ke Ridho, ya. Sekarang Mas Itaf wudu dulu, biar lebih tenang.”
Itaf menurut. Bu Wiwik meninggalkannya bersama Bu Eva. Mengikuti bimbingan wudu.
Di kelas, anak-anak tengah melantunkan asmaulhusna. Beberapa saat kemudian, Itaf datang. Bu Wiwik memberi aba-aba untuk menghentikan lantunan asmaulhusna para siswanya.
“Teman-Teman, tadi ada teman kita yang sedih dan menangis. Kita selesaikan masalahnya dulu, ya. Baru lanjut salat Duha.”
“Mas Ridho, tadi kata Mas Itaf kamu nyelip barisan. Apakah benar seperti itu?” tanya Bu Wiwik.
“Enggak, kok, Bu. Tadi kan Bu Wiwik menunjuk Sultan, habis itu barisan Ridho. Jadi, habis Sultan (jalan), ya, aku jalan di belakangnya.”
“Iya, Bu, makanya aku tadi enggak jalan, soalnya kan Bu Wiwik bilangnya Sultan. Kukira yang boleh jalan hanya Sultan,” timpal Hafidz.
Bu Wiwik kaget mendengar pernyataan Ridho dan Hafidz. Hafidz duduk di belakang Sultan. Memang, saat Bu Wiwik menunjuk Sultan, Hafidz ragu untuk bangkit. Saat itu, Bu Wiwik bertanya-tanya apa yang menyebabkan Hafidz tetap bergeming. Bu Wiwik mengabaikan itu dan lebih memilih mengecek kondisi tempat wudu.
Bu Wiwik mencoba mengingat-ingat redaksi instruksinya tadi. “(Kapten boleh menuju tempat wudu. Disusul Sultan. Kemudian barisan Ridho.)” O, o… rupanya, inilah biang kesalahpahaman ini.
“Astagfirullah. Ternyata Bu Wiwik yang salah. Maafkan Bu Wiwik ya, Mas Itaf, Mas Ridho. Gara-gara Bu Wiwik, kalian jadi salah paham. Mas Ridho dan Mas Itaf tidak salah. Yang salah Bu Wiwik. Sekali lagi, Bu Wiwik minta maaf, ya.”
Pertanyaan Bu Wiwik terjawab sudah. Rupanya Hafidz tak beranjak karena ia mengikuti instruksi Bu Wiwik. Begitu pula Ridho. Ia dianggap menyalip karena mengikuti instruksi Bu Wiwik juga.
Suasana yang tadinya tegang, berubah jadi cair. Bu Wiwik merasa lega, masalah pelik tadi telah terpecahkan. Anak-anak pun berseru girang. Seulas senyum tersungging dari kedua sudut bibir Itaf.
“Alhamdulillah, Mas Itaf sudah tersenyum lagi. Sekarang kita saling memaafkan, ya. Mas Ridho dan Mas Itaf bersalaman dulu. Senyumnya mana?”
Keduanya bersalaman, berbagi senyum manis, dan berpelukan. Anak-anak melaksanakan salat Duha dengan lega. Tanpa beban.
***
Ridho dan Itaf adalah dua anak yang berpendirian kuat. Mereka berpegang teguh pada prinsip kebenaran yang mereka yakini. Meski begitu, mereka tak segan meminta dan memberi maaf.
“Kalian sama sekali tidak salah. Gurumulah yang salah. Memberikan instruksi ambigu,” Bu Wiwik bersenandika.