Bu Ambar melapor. Ada surat masuk dari SMA Islam Hidayatullah. Segera saya buka. Undangan acara STF (SMAHA Traditional Festival). Tertulis dalam surat tersebut, STF dilaksanakan pada Kamis, 25 Mei 2023. 

“Kalau saya wakilkan kepada Bu Wiwik, mungkin jauh lebih bermanfaat. Barangkali menginspirasi beliau. Lalu dimodifikasi dan diimplementasikan di kelas beliau,” batin saya.

Untuk memastikan, saya merasa perlu menawari Bu Wiwik.

“Ini ada acara gelar karya tapi SMA. Bu Wiwik berkenan hadir? Barangkali ada inspirasi yang bisa dipetik,” tanya saya sembari menunjukkan surat undangan.

“Kapan, Pak?”

“Kamis, 25 Mei. Berkenan?”

“Jam pinten?”

“Coba saya lihat ulang suratnya.”

Saya buka kembali surat itu. Lalu saya baca. Kali ini saya membaca dengan lebih lambat. Saya kaget. Memang saya akui, saat membuka kali pertama, saya kurang cermat membaca surat itu.

“Maaf, Bu Wiwik. Saya salah baca. Saya pikir undangan untuk Kepala Sekolah. Ternyata ini mengundang murid SD 02 (SD Islam Hidayatullah 02—pen.) dan gurunya. Tadi saya memahaminya sebagai undangan untuk Kepala Sekolah.”

Gak pa-pa,  Pak.”

“Kalau begitu, Bu Wiwik memang harus hadir, mendampingi murid-murid.”

Nggih, Pak. Waktunya, jam pinten?”

“07.30—08.30.”

Nggih, Pak.”

“Nanti Bu Ambar biar pesan Hiace dan Innova.”

***

“Pak Kambali ikut ke SMA apa gak?” tanya Bu Ambar.

“Insyaallah saya ke SMA tapi mungkin hanya sebentar. Dan saya bermaksud meminjam motor Bu Ambar. Dipakai apa gak?”

“Silakan, Pak,” jawab Bu Ambar sembari menyerahkan kunci sepeda motor.

Saya tiba di SMA. Lewat parkir paling selatan (bukan pintu utama acara STF). Oleh Bu Luthfi—salah seorang panitia STF—saya disilakan duduk di kursi depan. Kebetulan acara pembukaan belum dimulai. Saya masih sempat melihat rombongan murid SD 02 yang berjalan menuju stan permainan di belakang kursi tamu. Ada banyak stan permainan. Namun, saya memang tidak menyempatkan melihat satu per satu. Justru  setelah Bu Galuh—yang mewakili Kepala Cabang Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah Wilayah I—membuka acara, saya bergegas kembali ke SD 02. Ada sejumlah tugas yang mendesak untuk diselesaikan.

Murid-murid tiba di SD 02 secara bertahap. Tepatnya tiga tahap. Menyesuaikan ketersediaan mobil Yayasan—yang penggunaannya begitu padat hari itu. Murid-murid diberi kesempatan istirahat 15 menit. Lalu melanjutkan pembelajaran sebagaimana pengaturan di hari itu.

***

Kamis (25/05/2023) sore, selepas jemaah Asar, saya pulang. Tiba di rumah, saya buka HP. Bu Wiwik kirim chat di grup WA.

“Saya jadi kepikiran: kalau ada ban bekas, bisa digunakan anak2 untuk bermain di sekolah. Colek @Bu Layla SD IH juragan bengkel. ” 

“Banyak, Bu Wiwik. Sangat senang jika dimanfaatkan, Bu, ” Bu Layla menimpali.

“Alhamdulillah…. 3 saja cukup, Ustazah.

“Mau dibawakan kapan, Bu?”

Eh, mboten kesesa, Ustazah. Malah jadi ngga enak. Pas sempat mawon.

Ban-ban bekas, hibah dari Bu Layla

Saya sangat terkesan dengan percakapan di atas. Chat Bu Wiwik—yang membuka percakapan itu—memunculkan banyak pertanyaan dalam benak saya. Mengapa Bu Wiwik terpikir tentang ban? Apakah karena acara STF pagi itu atau karena hal lain? Jika karena STF, adakah terinspirasi oleh stan permainannya? Atau ada kejadian yang dialami anak-anak selama mengikuti STF yang kemudian dipandang Bu Wiwik perlu diselesaikan dengan cara itu?

Menjajal mainan sreng ban di STF.

Besoknya saya sempatkan menanya ke Bu Wiwik. Ternyata terinspirasi oleh salah satu stan permainan dalam acara STF. Permainan ban ini diyakini Bu Wiwik dapat melatih motorik kasar—yang sangat berpengaruh dalam proses pembelajaran—murid-murid. Sebagian murid, motorik kasarnya memang masih perlu dilatih secara intensif. Ini—inspirasi yang diperoleh Bu Wiwik dari stan permainan STF—menguatkan keyakinan awal saya saat menerima undangan. Saya mengakui dan mengapresiasi kecakapan Bu Wiwik dalam menjadikan peristiwa yang dilihat, didengar, dan dialaminya sebagai sumber inspirasi. Bahkan tidak hanya terhenti dalam wujud ide, tetapi juga sekaligus mengimplementasikan di kelasnya. 

Menjajal mainan rangku alu di STF

Dahulu, saat ke SD Al Hikmah Surabaya, Bu Wiwik telah membuktikannya. Kini, di SMA Islam Hidayatullah, kecakapan tersebut terlihat kembali. Untuk mengeksekusinya, Bu Wiwik terbantu oleh Bu Layla. Alhamdulillah. Saya sangat bersyukur. Memang Bu Layla mempunyai bengkel motor. Umumnya, bengkel motor memiliki ban bekas. Ada yang lalu dijual, ada pula yang masih sekadar ditumpuk dan belum dipakai. 

Kerelaan Bu Layla untuk memberi ban bekas sangatlah berarti. Bukan hanya bagi si penerima, melainkan juga bagi si pemberi. Si penerima (Bu Wiwik) dapat memakai ban bekas untuk mainan murid-murid SD 02. Bagi si pemberi (Bu Layla), ini adalah modal luar biasa bagi Bu Layla sebagai seorang guru. Saya sangat yakin, guru yang dermawan akan sangat mudah menanamkan karakter dermawan kepada murid-muridnya. (A1)

Anak-anak bermain ban di SD 02
Bagikan:
One thought on “Inspirasi”

Comments are closed.

Scan the code