Salah satu rangkaian acara “Ramadan Ceria” adalah berbagi dengan saudara di panti asuhan. Dilaksanakan pada Rabu (12/04/2023). Di panti asuhan Ar-Rodiyah. Panti ini terletak di Kelurahan Sambiroto, Kecamatan Tembalang.
Rombongan SD Islam Hidayatullah 02—guru, murid kelas 1, dan wali murid—tiba di Ar-Rodiyah pukul 08.50. Salah seorang pengurus Ar-Rodiyah menyambut kedatangan rombongan. Saya bergegas mengajak beliau salim.
“Dari SD Islam Hidayatullah 02?”
“Nggih, leres, Pak.”
“Saya, Dzakirin. Ini dengan Pak …?”
“Saya Kambali, Pak Dzakirin.”
“Oh, Pak Kambali! Temannya Pak Setio Ari, ya?”
“Kok Pak Dzakirin kenal Pak Setio Ari? Apa Pak Setio Ari khidmah di sini? Ya, saya teman kuliah satu kelas dengan Pak Setio Ari.”
Begitulah, di awal pertemuan saya telah dikejutkan situasi yang sedikit pun tidak terbayang oleh pikiran saya. Ternyata ada teman kuliah yang berkhidmat di Ar-Rodiyah. Saya pun berharap dapat menemuinya walau sebentar. Saya sadar bahwa ini adalah jam-jam sibuk. Tidak pantas kalau saya mengganggu kesibukannya, kecuali bila Pak Setio Ari memang ditugaskan untuk ikut menemui rombongan kami.
Oleh Pak Dzakirin, rombongan kami diarahkan ke salah satu ruangan. Cukup luas. Di dalam ruangan sudah ada sepuluh anak yang duduk rapi. Ya, mereka adalah sebagian anak asuh yang tinggal di panti Ar-Rodiyah.
Setelah memperoleh izin dari Pak Dzakirin, tim dari SD Islam Hidayatullah 02 segera memasang MMT dan dekorasi untuk background kegiatan. Adapun murid-murid menempatkan diri bersebelahan dengan sepuluh anak yang lebih dulu berada di ruangan tersebut. Para wali murid yang ikut dalam rombongan duduk di bagian paling belakang.
Mengawali acara, Bu Layla memandu tahfiz. Murid-murid dan seluruh hadirin mengikuti tahfiz surah Al-Nās sampai dengan Al-Takāṡur. Tiap pagi murid SD Islam Hidayatullah 02 sudah dibiasakan tahfiz. Capaian masing-masing dari mereka sudah melebihi Al-Takāṡur—urutan surah saat pembiasaan tahfiz berkebalikan dengan urutan surah pada Al-Qur’an. Sehingga bacaan mereka—walaupun di Ar-Rodiyah—tidak terdengar ragu tetapi justru lantang, mantap, dan enak didengar. Pak Dzakirin pun mengakui dan mengapresiasi bacaan tahfiz murid-murid.
Tahfiz usai. Dilanjutkan acara sambutan. Di saat itulah, Pak Setio Ari masuk ruangan. Saya menyalaminya dan mengajaknya duduk bersebelahan dengan saya. Akhirnya saya bisa bertemu dengan teman lama. Bagi saya, ini kebahagiaan yang tak terduga. Saya merasa mendapat bonus luar biasa. Mungkin ini salah satu keuntungan silaturahmi.
Acara sambutan berakhir. Dilanjutkan dengan penyerahan santunan secara simbolis. Santunan yang diberikan berasal dari “Sedekah Subuh”. Ini adalah program yang digulirkan Bu Wiwik mulai Januari sampai dengan April 2023. Tiap murid dibekali celengan oleh Bu Wiwik. Celengan itu ditaruh di rumah. Tiap pagi selepas salat Subuh, murid-murid dibiasakan untuk mengisi celengan tersebut.
Setelah penyerahan santunan, seharusnya dilanjutkan dengan dongeng oleh Kak Kempho. Namun, Kak Kempho belum hadir. Maklum, Kak Kempho diundang pukul 10.00, sedangkan saat itu masih pukul 09.45. Sembari menunggu, Bu Layla memberi kesempatan murid yang hendak tampil membacakan cerita. Aza tampil ke depan. Ia sangat percaya diri membacakan cerita untuk teman-temannya, termasuk untuk sepuluh anak yang tinggal di panti.
Akhirnya Kak Kempho hadir juga. Acara mendongeng pun dimulai. Sebelum memulai, Kak Kempho memasang kertas gambar di depan. Kak Kempho mendongeng sambil menggambar. Itulah kekhasannya. Beberapa potongan cerita beliau gambar.
Kali ini, Kak Kempho mendongeng tentang gadis kecil yang diminta ibunya untuk membeli kecap. Dalam perjalanan menuju warung, gadis kecil tersebut memergoki temannya yang sedang usil dengan kucing.
Murid-murid SD Islam Hidayatullah 02 dan anak-anak panti Ar-Rodiyah begitu antusias mengikuti dongeng Kak Kempho. Suara Kak Kempho yang berubah-ubah menyesuaikan tokoh cerita membuat para pendengar tidak jenuh mendengarkannya. Humor yang dibawakan Kak Kempho di sela-sela dongeng menjadikan suasana fresh. Rendra tertawa terpingkal-pingkal tiap kali mendengar humor Kak Kempho.
Di tengah-tengah acara mendongeng itu, saya berkali-kali diperlihatkan pemandangan yang menguras pikiran saya.
Saat mendengar cerita, sewajarnya anak-anak biasanya spontan berkomentar atau memberi umpan balik. Misalnya yang dilakukan Sultan, beberapa kali ia berkomentar di tengah-tengah Kak Kempho mendongeng. Dan di saat yang sama, berkali-kali saya lihat sejumlah murid mengangkat tangannya. Namun, Kak Kempho tidak merespons. Mereka yang angkat tangan masih terus bertahan. Setelah lama angkat tangan dan tidak ada respons, barulah mereka menurunkan tangan.
Haqqi mengangkat tangan. Kak Kempho terus melanjutkan dongengnya. Haqqi masih bertahan. Ia tetap mengangkat tangan. Sudah cukup lama Haqqi angkat tangan. Tidak ada respons. Menyadari tak ada respons apa pun, Haqqi akhirnya menurunkan tangannya.
Hafidz juga demikian. Beberapa kali ia angkat tangan. Namun, tak ada respons apa pun. Akhirnya Hafiz pilih menurunkan tangannya setelah sekian lama ia angkat tangan dan tak ada respons.
Selain Haqqi dan Hafidz, saya juga memperhatikan Kennard. Ia juga melakukan aksi yang sama dengan Haqqi dan Hafidz. Namun, entah karena apa, ternyata Kennard berbeda dari Haqqi dan Hafidz. Ia angkat tangan. Tidak ada respons. Ia terus bertahan. Cukup lama. Dan Kak Kempho akhirnya merespons. Kennard diberi kesempatan bicara.
“Sudah jadi beli kecap apa belum?” tanya Kennard.
“Oh, nanti. Nanti dulu. Ini ceritanya belum selesai. Dengarkan, ya!” jawab Kak Kempho.
Saya sempat berpikir, mengapa Kennard mendapat respons Kak Kempho? Apa perbedaan tindakan yang dilakukannya? Secara lahiriah, apa yang dilakukan Kennard sama dengan apa yang dilakukan Haqqi dan Hafidz. Atau karena Kennard melakukannya di akhir-akhir Kak Kempho bercerita? Bukankah tindakan Haqqi dan Hafidz memang dilakukan di saat-saat permulaan Kak Kempho bercerita?
Yang justru paling menguras pikiran saya: mengapa Haqqi, Hafidz, dan Kennard tidak langsung bicara saja—seperti suasana saur manuk? Mengapa Haqqi, Hafidz, dan Kennard ndadak angkat tangan terlebih dahulu? Bahkan Kennard pun akhirnya berbicara setelah benar-benar diberi kesempatan. Mengapa demikian? Bukankah mereka masih anak kelas 1, yang pada umumnya bicara langsung tanpa angkat tangan terlebih dahulu? Bukankah Sultan juga langsung bicara—tanpa angkat tangan terlebih dahulu?
Saya teringat. Suasana seperti itu adalah suasana rutin di kelas. Dan anak-anak dibiasakan oleh Bu Wiwik untuk angkat tangan terlebih dahulu. Setelah diberi kesempatan oleh guru, baru bicara. Adakah yang dilakukan Haqqi, Hafidz, dan Kennard adalah dampak dari pembiasaan yang dilakukan Bu Wiwik dan guru-guru di kelas? Wallahu a’lam. (A1)