Waktu istirahat hampir usai.

“Lima menit lagi bel!” seru Iqbal dari ambang pintu kelas.

Teman-teman Iqbal berbondong-bondong memasuki kelas. Iqbal dan teman-temannya berusaha untuk mematuhi salah satu kesepakatan kelas. Lima menit sebelum bel, para siswa diharapkan masuk kelas untuk benar-benar beristirahat. Jika tidak begitu, mereka akan terlena dengan euforia kejar-kejaran, main bola, dan permainan lainnya.

Durasi lima menit itu dimanfaatkan untuk minum, makan, atau sekadar ngadhêm di kelas. Tidak ada lagi aktivitas fisik yang menguras energi. Hal ini dimaksudkan agar para siswa lebih siap untuk melanjutkan pembelajaran. Meski demikian, ada saja siswa yang masih asyik bermain. Hingga waktunya bel, mereka tergopoh-gopoh masuk kelas dengan keringat bercucuran.

Tiga belas anak menyiapkan buku ngaji. Mereka menuju ruangan yang telah ditentukan. Ustazah Layla telah menunggu di ruangan tersebut. Mereka mengikuti pembelajaran BAQ (Baca Al-Qur’an). Tiga belas anak lainnya tetap di kelas. Mereka mengikuti pelajaran SBdP (Seni Budaya dan Prakarya) bersama Bu Wiwik dan Bu Eva.

“Anak-Anak, hari ini kita akan membuat gelang,” jelas Bu Wiwik sambil menunjukkan manik-manik beraneka bentuk dan warna.

“Nanti menyusunnya sesuai pola berikut,” lanjut Bu Wiwik sembari menggambar di papan tulis.

Siswa putra duduk melingkar di sisi barat karpet, sementara siswa putri di sisi timurnya. Tiga jenis manik-manik masing-masing dituang ke dalam dua wadah. Tiga wadah untuk siswa putra, dan sisanya untuk siswa putri.

“Yang sudah mendapat senar boleh langsung mulai meronce. Ingat, harus sesuai dengan polanya, ya,” jelas Bu Wiwik.

Beberapa menit berselang, sudah ada yang mengeluh.

“Bu Eva, gelangku lepas lagi.”

“Iya, nggak papa. Waktunya masih banyak. Ayo cari cara supaya tidak lepas lagi! Kalau sudah tahu caranya, boleh mengajari teman lainnya.”

Bu Wiwik dan Bu Eva sengaja tidak memberi tahu cara menjaga roncean agar tidak melorot dari senarnya.

“Aku tahu!” seru Fillio, “Ujungnya ini diikat.”

Beberapa anak telah menyelesaikan gelang mereka. Tiba-tiba Rendra menangis. Cukup keras.

“Aku capek. Dari tadi lepas terus!” teriak Rendra.

Bu Eva mencoba menenangkan Rendra. Gagal.

“Mas Rendra, dicoba lagi, ya,” bujuk Bu Wiwik.

“Aku sudah ulang terus dari tadi. Tapi lepas terus. Aku capek,” jelas Rendra.

Tangisnya semakin keras.

“Oke. Mas Rendra menangisnya di luar dulu, ya. Nanti kalau sudah tenang, masuk kelas lagi.”

Rendra mengangguk sambil (masih) menangis. Ia lantas bergegas mengambil sandal. Bu Eva dan Bu Wiwik beradu pandang. Keduanya tersenyum. Para guru dan teman-teman Rendra sudah memahami kondisi Rendra yang mudah berkecil hati. Jika sudah begitu, biasanya ia diminta menenangkan diri dulu di luar kelas. Rendra butuh waktu untuk mengelola emosinya.

Di luar kelas, terdengar suara Pak Kambali. Sepertinya berusaha menenangkan Rendra. Masih gagal. Kalynn menghampiri Rendra dari ambang pintu kelas.

“Rendra kenapa? Gelangnya putus (baca: lepas), ya?” tanya Kalynn.

“Iya, padahal aku udah capek-capek bikin tapi putus (baca: lepas) terus,” jawab Rendra sambil menangis.

Nggak papa. Nanti bisa dibikin lagi. Kalau kamu di sini terus, nanti waktunya habis, lo,” bujuk Kalynn.

Rendra berpikir sejenak. Ia tidak lagi menangis. Ia kembali masuk kelas. Kalynn mengekor. Rendra mencari manik-maniknya yang tadi melorot dari senarnya. Ternyata sudah dikumpulkan kembali ke dalam wadahnya oleh Bu Eva. Rendra kembali menangis. Ia keluar kelas lagi.

Bu Ambar—staf TU—pun mencoba membujuk Rendra. Nihil. Bu Wiwik melirik ke arah Kalynn. Yang dilirik paham. Ia mencoba membujuk Rendra lagi.

“Aku dulu juga pernah bikin gelang. Sudah dibuat berkali-kali tapi lepas terus. Ayo, Rendra, coba lagi. Nanti aku bantuin,” bujuk Kalynn.

Rendra menerima ajakan Kalynn. Di dalam kelas, Kalynn menepati janjinya. Ia bersama Bu Eva membantu Rendra menyelesaikan roncean.

Rendra berpose dengan gelang hasil karyanya

Bu Wiwik penasaran. Apa yang dikatakan oleh Kalynn sehingga dapat membujuk Rendra dalam waktu yang relatif singkat. Keesokan harinya, Bu Wiwik menanyakannya kepada Kalynn. Kalynn menceritakan sebagaimana percakapan di atas.

Bagi para siswa, pelajaran hari itu adalah membuat gelang. Kenyataannya, tak sekadar itu. Di dalamnya termuat pelajaran-pelajaran lainnya. Bukan hanya SBdP dan Matematika.

Akhlak Kalynn sungguh menyejukkan, yang sayang jika tidak diceritakan ke teman-temannya.

Ketangguhan dan ketekunan anak-anak dalam meronce juga sebuah proses belajar.

Kecerdikan Fillio pun merupakan buah pemikiran tingkat tinggi.

Terlebih, saat dia bersedia membagikannya kepada teman-temannya.

Rendra tak kalah hebatnya. Apa yang dialami hari itu mengajarkannya untuk tak mudah putus asa.

Dan, bagi Bu Wiwik, semua pelajaran berharga itu tidaklah ternilai.

Bagikan:
Scan the code