Hari itu (Jumat, 5 Mei 2023) ada empat anak tidak masuk sekolah. “Ini kesempatan makan di kelas bersama anak-anak,” batin saya. Akhirnya saya bisa makan, gabung dengan anak-anak di ruang kelas. Ada beberapa kursi kosong. Saya pilih salah satunya. 

Di sebelah kiri saya ada Kennard. Di depan saya ada Langit yang bersebelahan dengan Fillio. Ya, penataan meja kursinya memang dibuat kelompok-kelompok. Tiap kelompok memuat empat kursi dan empat meja. 

Di tengah-tengah empat meja ada pemisah buku. Dipakai untuk menempel gambar. Saya lihat gambarnya. Ternyata burung.

“Ini kelompok apa namanya?” tanya saya.

“Burung, Pak,” jawab salah satu siswa.

Saya buka lepak (kotak makan). Menu kali ini, soto. Lengkap dengan tempe dan sate telur puyuh. Mulailah saya makan. Bersama Kennard, Langit, dan Fillio. Tentu setelah kami melafalkan doa sebelum makan. Ini salah satu adab yang hendak ditanamkan kepada anak-anak. Lewat praktik langsung dan pembiasaan, penanaman adab saya yakini lebih efektif.

Ternyata saya paling akhir. Ketiga anak itu selesai makan lebih dulu. Begitu selesai, anak-anak menata kembali lepaknya dan menaruhnya di meja depan ruang kelas. Kennard paling awal, disusul Langit, lalu Fillio. Sementara saya masih berproses menyelesaikan makan. 

Terkadang saya butuh waktu sangat lama untuk menyelesaikan makan. Namun, seringnya lebih cepat. Hampir sama dengan durasi makan anak-anak. 

Setelah saya selesai makan, lepak saya tata kembali. Belum sempat saya berdiri untuk maksud mengembalikan lepak, tiba-tiba saya lihat Sultan. Ia berjalan dari tempat duduknya menuju meja tempat menaruh lepak. Kedua tangannya mengangkat tiga lepak yang sudah tertata rapi. Spontan saya memanggilnya.

“Sultan, sekalian lepak ini, ya,” kata saya sambil menunjukkan lepak yang saya pegang.

Sultan memutar arah jalannya. Menuju ke meja saya. Tiba di meja saya, ia menaruh tiga lepak yang ia bawa. Lalu ia terima lepak yang saya berikan. Ia taruh di atas tumpukan tiga lepak. Kini tumpukan itu lebih tinggi dari sebelumnya. Empat lepak. 

Ia angkat tumpukan empat lepak tersebut dengan kedua tangannya. Ups, gagal. Ia pindah posisi. Kedua tangannya ia pakai sebagai alas tumpukan lepak. Ia angkat. Lepak paling atas bergeser posisi dan hampir jatuh. Ia pakai dagu untuk menahan lepak paling atas. Aman. Tumpukan lepak tidak berisiko jatuh, tapi muncul masalah baru. Ia kesulitan berjalan dengan posisi dagu seperti itu. 

Anak ini ternyata tidak mudah menyerah. Cara satu gagal, ia coba cara lain. Bahkan meski dengan dagunya. Saya mendekat.

“Sini, Pak Kambali beritahu cara mengangkatnya. Tidak perlu pakai dagu. Cukup dengan dua tangan saja. Begini,” kata saya sembari menata ulang tumpukan lepak dan menuntun posisi kedua tangan Sultan.

Sultan tersenyum. Kedua tangannya berhasil mengangkat tumpukan lepak tanpa bantuan dagu. Ia berjalan menuju pintu ruang kelas. Baru beberapa langkah Sultan berjalan, tiba-tiba dari arah pintu ruang kelas Aza masuk ruangan. 

“Sul, saya bantu,” kata Aza sembari berlari mendekati Sultan. 

Sultan tidak merespons melalui suara. Ia hanya tersenyum. Dan menghentikan langkah kakinya. 

Begitu tiba di depan Sultan, Aza segera meraih dua lepak teratas. Sultan tanggap. Tumpukan lepak ia posisikan sedemikian rupa sehingga mudah diraih oleh Aza. 

Sekarang Sultan tinggal membawa dua lepak. Adapun dua lepak lainnya dibawa oleh Aza. Dengan hanya dua lepak, Sultan begitu mudah mengangkat tumpukan lepak tersebut. Demikian pula Aza. 

Melihat peristiwa di atas, saya membatin, “Belum berselang lama Sultan memberi bantuan kepada orang lain, ternyata Allah langsung menunjukkan balasannya: Aza membantu Sultan tanpa diminta.”

Seketika saya teringat surah al-Rahmān: 60. “Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula).” Sekaligus saya makin yakin: membantu orang itu menguntungkan. Yang beruntung bukan hanya yang dibantu. Yang membantu pun mendapat keuntungan. (A1)

Bagikan:
9 thoughts on “Membantu, Ganti Dibantu”

Comments are closed.

Scan the code