Rabu (5/2/2025) terasa begitu hectic bagi saya. Pasalnya, hari itu anak-anak kelas 3 akan membuat dan menggoreng cireng—sebuah kegiatan yang dinantikan: memasak. Kegiatan ini dalam rangkaian Collaborative Camp. Tiap kelas mempunyai kegiatan masing-masing. Hanya saja dikemas dalam kegiatan yang berbeda. Tentu saja, jadwal yang sudah biasa berjalan terpaksa diubah demi memastikan kegiatan memasak berjalan lancar.

Hari itu, saya bertugas piket: menyambut anak-anak di depan pintu lobi. Sehingga saya harus stand by hingga bel masuk. Kami sudah menyiapkan bahan dan alat yang dibutuhkan pada hari sebelumnya di kelas 3: hari Selasa. Namun, persiapan untuk menggoreng cireng masih jauh dari kata selesai. Empat gas portabel belum terpasang di kompor. Kompor dua tungku juga belum dipindahkan ke tempat yang akan digunakan. Beberapa bahan masih kurang karena persediaan di warung sudah habis.

Bersyukur, saya dikelilingi orang baik. Bu Puput, salah satunya. Beliaulah yang memasang dan menyiapkan kompor portabel. Alhamdulillah, satu masalah terselesaikan. Tinggal membeli bahan: daun bawang, gula pasir, dan minyak.

Bel berbunyi. Saya bersegera menuju warung sayur dan buah, dekat gedung lama SDIH 02. Jaraknya cukup dekat: 120 meter. Saya tempuh dengan jalan kaki. Setelah bahan dirasa cukup, saya kembali ke SDIH 02. Ketika saya tiba di kelas, anak-anak sudah selesai melafalkan doa pagi. Kemudian saya dan Bapak/Ibu Guru lain membersamai tahfiz anak-anak. Waktu berjalan begitu cepat. Lima belas menit berlalu. Tiba saatnya pelajaran BAQ. Anak-anak segera berhamburan menuju tempat BAQ masing-masing.

Di sela-sela itu, saya mempersiapkan bahan-bahan dengan gesit. Tak terasa, jarum jam menunjukkan pukul 07.20. Saya bersegera menuju ruang BAQ.

Wa iżal-kawākibuntaṡarat,” gema surah Al-Infiṭār yang dilantunkan anak-anak.

Saya terkesima. Bertanya-tanya. Siapa yang mengajak lebih dahulu? Namun, pertanyaan itu saya urungkan. Saya segera mengikuti bacaan mereka.

“Masyaallah. Bu Guru minta maaf, ya, terlambat masuk. Karena tadi mempersiapkan bahan buat masak cireng,” jelas saya. “Alhamdulillah. Bu Guru bersyukur sekali Anak-Anak sudah mulai doa dulu. Eh, doanya sudah selesai. Bu Guru belum kunjung tiba. Terus langsung murajaah. Masyaallah. Siapa tadi yang mulai dulu?” tanya saya.

“Hasna sama Sabrina, Bu,” jawab Haqqi.

Hasna menggelengkan kepala.

“Iya, Sabrina?” tanya saya memastikan.

“Tadi saya diajak sama Hasna, Bu,” terang Sabrina.

“Masyaallah. Terima kasih, Hasna dan Sabrina. Kalian keren, nih! Dapat pahala jariah banyak. Karena tadi sudah mengajak teman-teman untuk berdoa dahulu. Semoga kebaikan Hasna dan Sabrina diikuti Teman-Teman, ya. Amin,” harap saya.

Keterlambatan saya ternyata membawa dampak positif yang tak terduga: Hasna mengajak Sabrina dan teman-teman lainnya berdoa terlebih dahulu. Ini menunjukkan betapa pentingnya semangat kebersamaan dan kepedulian antarteman. Saya merasa bersyukur atas kebaikan yang tumbuh di antara mereka. Dan, di lain kesempatan saya akan lebih memperhatikan kedisiplinan. Terima kasih, Sabrina dan Hasna, atas teladan kebaikan kalian!

Bagikan:

Leave a Reply

Scan the code