Ruang guru mulai dipenuhi barang-barang. Ada lemari, sound system, meja murid, celengan anak-anak, dan masih banyak lagi. Ditambah telah dipasangnya wastafel beberapa pekan yang lalu. Penghuninya hanya tiga. Saya, Ustaz Aruf, dan Pak Kukuh.

Saya dan Ustaz Aruf Guru BAQ. Sedangkan Pak Kukuh Guru Olahraga. Kami bertiga ditempatkan di satu ruangan. Memang formasi Pak Kukuh berbeda dari saya dan Ustaz Aruf. Tapi mungkin karena kami bertiga guru laki-laki, jadinya dikumpulkan jadi satu. Terlepas dari Pak Kambali yang juga Guru laki-laki. Tapi karena beliau Kepala Sekolah, jadi disediakan ruangan sendiri.

Masuk gedung baru ini saya harus banyak bersyukur. Dengan fasilitas dan suasana yang baru, niat dan semangat pengabdian juga harus diperbaharui. Pesan kiai saya, “Dalam setiap pergantian tempat atau waktu, maka harus ada tajdīdun-niyyah (pembaruan niat).”

Seiring berjalannya pembelajaran di gedung baru ini, saya harus mulai banyak peka terhadap sikap anak-anak. Sikap mereka dalam menempati gedung baru ini pastinya berubah dari sebelumnya. Banyak sekali anak-anak yang berlarian menikmati luasnya tiap sisi gedung.

Maka inilah saat yang tepat untuk menanamkan kepada mereka bagaimana rasa bersyukur terhadap suatu kenikmatan—atas kepindahan dari gedung lama ke gedung baru. Bukankah masa mereka adalah masa emas dalam penanaman akhlak? Bukankah di masa mereka nilai-nilai Islam akan mudah mereka cerna? Bukankah ini waktu yang tepat?

Sering sekali anak-anak masuk ke ruang guru. Sekadar salim atau hanya mau mengabarkan sesuatu. Bahkan mereka tak sungkan untuk bermain di dalam dan melihat-lihat suasana ruangan atau benda-benda di atas meja. Ada juga yang berniat meminjam salah satu benda.

Saya tak pernah mempermasalahkan mereka masuk ke ruang guru. Justru saat-saat seperti itu saya gunakan untuk menanamkan akhlak untuk mereka. Jika masuk tanpa salam, saya minta untuk mengulanginya dengan salam. Jika ada yang makan sambil berdiri, saya ingatkan untuk duduk. Dan sebagainya.

Sampai suatu saat. Beberapa anak sedang berada di dalam ruangan. Saya tidak hafal siapa saja. Tapi saya kagum dengan satu anak. Saat tak sengaja pintu tertutup dengan kencang, yang terucap olehnya kalimat tayibah. Spontan.

“Astagfirullah!” seru anak itu.

Kaget, tapi berkelas. Tak sekadar terkejut. Ia buat terkejutnya menjadi bermakna dan bernilai. Itulah Muti. Siswi kelas 1.

Kalimat istigfar belum familier di lisan anak kelas 1 pada umumnya. Bahkan orang dewasa sekalipun. Tak sedikit kagetnya orang dewasa tak seperti Muti. Saya pun tak ingat, dulu mengenal kalimat istigfar umur berapa, ya? He-he. Jika kenal pun saya tak ingat membudayakan untuk mengucapkannya kapan. Yang pasti baru dewasa ini saya berusaha membiasakan diri untuk mengucapkannya. Pastinya karena kebutuhan, sih, he-he.

Yang pasti Muti sudah kenal kalimat istigfar lebih dini. Bahkan sudah mengamalkannya. Tak diragukan lagi efektivitas pembiasaan untuk kalimat tayibah lainnya pada Muti. Entah yang diajarkan di sekolah atau lingkungan keluarganya.

Sikap Muti sangat layak diapresiasi. Semoga ia istikamah dalam melafalkan kalimat tersebut atau kalimat tayibah lainnya. Dan semoga teman Muti yang menyaksikan ikut tertular. Amin

Bagikan:

Leave a Reply

Scan the code