Lima orang guru berkumpul di ruang kelas 3. Pak Kambali, Bu Eva, Bu Indah, Bu Shoffa, dan saya. Dari kelima guru itu, Bu Indah-lah yang paling junior. Junior dalam hal masa kerja di SD Islam Hidayatullah 02. Beliau mulai bergabung di sekolah ini sejak 3 Juni 2024.

Kami berlima mengaji bersama. Tiap-tiap guru mendapat jatah halaman sesuai kemampuan kecepatan baca masing-masing. Saya terjatah empat halaman. Hari itu, kami berlima dapat menyelesaikan 22 halaman. 

Baca juga: Diferensiasi

Masih ada waktu beberapa menit menuju asar. Kami berlima tetap bertahan di kelas 3.

“Bu Indah tahu bedanya hukuman dan konsekuensi?” tanya Pak Kambali.

Butuh sekian detik bagi Bu Indah untuk memikirkan jawaban atas pertanyaan Pak Kambali itu.

“Oh, yang di-share Pak Kambali di grup kemarin itu, nggih?” respons Bu Indah.

Sehari sebelumnya, Pak Kambali juga mengirim sebuah tautan artikel di grup WhatsApp Sekolah. Dalam artikel tersebut, diulas pengalaman seorang guru yang pernah menerapkan hukuman dan konsekuensi. Hingga akhirnya guru tersebut menyadari bahwa konsekuensi jauh lebih baik daripada hukuman.

Saya tidak begitu ingat bagaimana kalimat jawaban yang disampaikan oleh Bu Indah. Beliau menekankan bahwa konsekuensi merupakan sesuatu yang telah disepakati sebelumnya dan dilaksanakan atas dasar kesadaran. 

“Misal ada kejadian begini: pelajaran dimulai jam 9. Ada murid yang datang terlambat, jam 09.10. Murid tersebut diminta berdiri. Dan itu sudah menjadi kesepakatan. Yang kedua, murid yang terlambat tadi tidak diminta berdiri, tetapi setelah pelajaran selesai, ia diminta melanjutkan belajar selama 10 menit. Menurut Bu Indah, manakah yang termasuk konsekuensi?”

“Yang pertama, Pak,” jawab Bu Indah.

Saya, Bu Eva, dan Bu Shoffa turut menyimak diskusi ini. 

“Bu Wiwik, coba buka KBBI,” pinta Pak Kambali.

“Konsekuensi = akibat. Persesuaian dengan yang dahulu,” jawab saya.

“Ya. Jadi, konsekuensi itu akibat dari suatu perbuatan. Dan ini yang penting, akibat yang ditimbulkan itu sama dengan ketetapan yang dilanggar. Pada kejadian tadi, yang konsekuensi adalah yang kedua. Kalau yang pertama itu hukuman,” jelas Pak Kambali.

Kami berempat sepakat dengan penjelasan Pak Kambali. Beliau juga mencontohkan beberapa kejadian di Sekolah yang menunjukkan konsekuensi. Salah satunya adalah murid diminta mengulang berjalan dengan membungkuk ketika mereka lupa.

Praktik-praktik penerapan konsekuensi dalam kegiatan di sekolah telah dilakukan. Anak-anak juga sering menjadi “polisi” bagi teman-teman mereka. Terwujudnya budaya seperti ini butuh satu hal mendasar: visi yang sama. Untuk bisa memiliki visi yang sama, para guru perlu memahami dan menyepakati dahulu visi yang dimaksud. Dan itulah salah satu upaya yang dilakukan Pak Kambali—sebagai pimpinan—untuk memahamkan kepada Bu Indah sekaligus menguatkan kembali pemahaman saya, Bu Eva, dan Bu Shoffa.

Bagikan:

Leave a Reply

Scan the code