“Oke,” suara mesin finger print saat sidik jari yang ditempelkan berhasil terbaca.
Jam menunjukkan pukul 06.23. Baru beberapa anak yang tiba di Sekolah. Segera saya menuju ke lantai 2, tepatnya ruang kelas 3. Ya, ruangan saya bersama anak-anak kelas 3. Tidak seperti ruang guru pada umumnya. Kami—para guru kelas—stand by di ruang kelas masing-masing.
Usai beres-beres, sejenak saya mengamati seantero kelas 3. “Ya Allah, kemarin saya lupa mengingatkan anak-anak kelas 3 untuk piket menyambut teman-teman,” jerit saya dalam hati. “Saya tak berharap apa pun. Kalau memang hari ini anak yang terjadwal piket datangnya terlambat, ya sudah. Toh, salah saya sendiri. Tidak mengingatkan mereka,” gumam saya.
Gedung baru. Tugas baru. Ya, sejak Selasa (21/1/2025) anak-anak kelas 1—3 diberi tugas untuk menyambut teman-teman di depan lobi membersamai bapak/ibu guru.
Saya sempat bingung. Saat Pak Kambali menawarkan dua pilihan: tidak melibatkan anak-anak untuk penyambutan di pagi hari atau melibatkan mereka. Pasalnya, saya membayangkan jadi anak kelas 3. Apalagi anak putra. Sebelum bel, anak putra yang datang terlebih dahulu selalu mengisi waktu luangnya dengan bermain. Nah, kalau mereka mendapatkan jatah untuk menyambut teman-teman, berarti saya zalim, dong? Sudah merenggut waktu bermain mereka? Dilema bagi saya. Benar-benar dilematis. Tanpa ba-bi-bu. Voting digelar. Satu memilih opsi pertama. Dan sebelas di antaranya memilih opsi 2. Termasuk saya, pemilih opsi nomor 2.
“Bismillah. Untuk melatih kedisiplinan,” tekad saya, saat mengacungkan jari ketika opsi nomor dua disebut.
Senin (20/1/2025), saya sampaikan kepada anak-anak terkait tugas baru menyambut teman-teman di pagi hari. Beberapa anak menyambut dengan tangan terbuka. Beberapa lainnya mengungkapkan kegundahannya. Apalagi bagi mereka yang biasa tiba di sekolah mepet dengan bunyi bel masuk. Tugas baru tersebut diberi nama “piket menyambut teman-teman”. Jadwal piket sesuai dengan nomor urut presensi. Nomor 1 dan 2. Nomor 3 dan 4. Begitu seterusnya. Apabila ada anak yang datangnya terlambat, dia mengganti piket di hari berikutnya.
“Kalau besoknya datang terlambat lagi, bagaimana, Bu?” selidik Ridho.
“Ya, besoknya lagi,” jelas saya.
“Wah, kalau begitu saya datang terlambat terus, ah,” celetuk Itaf sembari terkekeh.
“Astagfirullah. Masa mau datang terlambat terus, sih? Bu Guru doakan Anak-Anak bisa bangun pagi. Supaya tiba di sekolah tidak terlambat,” harap saya. “Apa gak malu sama adik-adik kelas?” imbuh saya.
Hari pertama berlangsung. Hafidz dan Rayya terjadwal piket. Belum ada tanda-tanda kedatangan mereka. Saya hampir menyerah. Pasalnya, Hafidz sering masuk sekolah mepet dengan bel. Dulu—saat kami home visit ke rumah Hafidz—Bunda Irma menyampaikan kalau Hafidz sering “setoran wajib” di saat ia sudah siap untuk berangkat. Ah, lagi-lagi. Panggilan alam yang harus segera ditunaikan. Kalau tidak, bisa bahaya. Bisa-bisa anggota tubuh pada demo. Tak ingin ambil pusing, saya melipir keluar kelas untuk merefresh hati dan pikiran. Setelah lega, saya masuk ke kelas mencari dua sosok tersebut. Masih tidak ketemu. Saya tanyakan ke anak-anak, mereka juga tidak tahu. Aha, kenapa tidak saya tanyakan ke Bu Puput saja?
“Sudah, Bu Shoffa. Tadi sekitar pukul 06.40,” jawab Bu Puput dengan senyumannya yang khas. Menambah gairah semangat saya.
“Rayya saja atau sama Hafidz, Bu?” tanya saya memastikan lagi.
“Dua-duanya, Bu.”
Alhamdulillah. Rayya dan Hafidz patut diacungi jempol. Mereka menunjukkan bahwa mereka bisa diandalkan.
Saat pulang saya terlupa mengingatkan anak-anak yang bertugas menyambut teman-teman—Adia dan Valda. Tak disangka. Keesokannya, saya dibuat kagum oleh Adia. Pasalnya, ia masuk ke kelas pukul 06.27. Padahal kemarin kami lupa menyampaikan bahwa ia bertugas menyambut teman-teman. Biasanya Adia tiba di sekolah pukul 06.50-an. Tujuh menit kemudian disusul Valda. Lagi-lagi, saya sudah underestimate kepada anak-anak. Astagfirullah.
Usut punya usut, ternyata kehadiran Adia saat piket didukung oleh keluarganya. Usai pulang Sekolah, ia bilang ke papanya kalau besok piket. Pak Aditya—Papa Adia menyambut dengan tangan terbuka. Beliau pun memberi pesan untuk putrinya agar berangkat lebih gasik.
Meskipun awalnya saya ragu dan khawatir, mereka menunjukkan kedisiplinan dan tanggung jawab yang luar biasa. Seperti yang saya alami dengan anak-anak kelas 3: Adia, Valda, Hafidz, dan Rayya. Mereka telah membuktikan bahwa mereka bisa diandalkan lebih dari yang saya kira. Ini menjadi pelajaran bagi saya. Terkadang, kita perlu memberi kesempatan kepada anak-anak untuk menunjukkan kemampuan mereka. Dan, dukungan dari orang tua sangat berperan penting dalam hal ini. Dan terakhir, saya merasa bangga bisa menjadi bagian dari proses pembelajaran mereka.