Hujan cukup deras mengguyur telatah Semarang pagi itu. Kamis, 30 Januari 2025. Saya berangkat dari Genuk dengan berlindung di balik jas hujan berwarna hitam: saya beli di toko jingga. Di bawah rintik hujan, jalanan mulai ramai dengan kendaraan. Pagi itu 06.50 dengan hiruknya saya lepas landas dari Genuk ke Banyumanik.
Hujan tak reda sepanjang jalan. Perjalanan saya kurang lebih 20 km: menurut Google Maps. Ditempuh selama 42 menit, juga menurut Google Maps. Alhamdulillah, nyatanya, perjalanan saya tak selama itu. Saya finger di sekolah pukul 06.20. Alhamdulillah, 12 menit lebih cepat dari perkiraan mbah Gugel. Pak Teguh—staf fungsional Lembaga Pendidikan Islam Hidayatullah Semarang—saksi kedatangan saya.
“Alhamdulillah (mungkin syukur atas kedatangan beliau dengan selamat). Banjir ndak, Pak Adhit?” tanya beliau, sambil menempelkan ibu jari ke mesin perekam sidik jari.
“Alhamdulillah, boten, Pak Teguh,” jawab saya yakin.
Beliau pun kembali menarik gas motor lejennya untuk parkir. Tempat parkirnya masih sama seperti biasanya: di samping genset. Saya berjalan masuk ke arah pintu utama Sekolah. Disambut oleh Salma, kelas 2. Yang juga baru saja sampai di sekolah tercinta. Kami berdua masuk gedung bersamaan. Sampai di lobi, saya disambut Valda.
“Saya paling pertama,” aku Valda.
“Alhamdulillah,” respons saya.
Saya pun masuk ruang guru dengan perlahan. Gagang pintu saya tekan, daunnya saya dorong. Ternyata masih gelap. Saya tekan sakelar yang ada di samping lemari, dan lampu pun menyala. Kedatangan saya dikagetkan dengan adanya wastafel yang sudah terpasang.
“Alhamdulillah,” batin saya.
***
Langit redup pagi itu tak menyusutkan semangat saya. Ditambah satu kejadian yang cukup mengesankan. Seorang anak berjalan ke arah saya saat pendampingan wudu kelas 1. Sambil membawa kertas
“Ustaz, sekarang tanggal berapa?” tanya anak itu.
“Mmm, tanggal 30,” jawab saya sambil melirik arloji di tangan kiri saya.
“Oke, Ustaz, terima kasih,” tutup anak itu dengan senyum tipis sambil memalingkan badan dari hadapan saya.
“Wow, anak itu, berani sekali, ya,” batin saya.
Itulah Aya, siswa pindahan. Kelas 2. Ia lagi asyik mengobservasi tanaman yang ditanamnya beberapa hari lalu. Pada kertas observasinya tercantum kolom tanggal. Sehingga ia harus mengisi kolom tersebut. Mungkin ia lupa atau bahkan tak tahu hari itu tanggal berapa. Sehingga memberanikan diri untuk bertanya.
Aya anak pemberani. Keberanian Aya cukup mengesankan saya. Sebab, umumnya, anak-anak malu bahkan takut untuk bertanya kepada gurunya. Ekstremnya, mereka menyontek temannya yang sudah mengisi tanggal lebih dulu. Kenapa Aya tak bertanya kepada temannya saja? Kenapa ia tak menyontek saja? Dan Aya anak yang sudah menemukan kesadarannya terhadap tanggal. Bukankah, biasanya orang dewasa saja tidak terlalu memperhatikan tanggal?
***
Penting tak penting, tanggal sangat diperlukan dalam segala segmen kehidupan. Sejarah, budaya, bisnis, kesehatan, militer, dan tentunya pendidikan. Setiap hal membutuhkan administrasi. Dan setiap administrasi tak pernah lepas dari penanggalan. Penanggalan yang tepat akan memudahkan administrasi itu sendiri. Alhamdulillah, Aya sudah belajar sejak dini betapa pentingnya penanggalan. Dimulai dari belajar menanggali lembar observasi. Harapannya, dewasanya nanti ia terbiasa menulis tanggal. Sehingga memudahkannya dalam mengerjakan hal-hal besar yang dihadapinya. Amin.