“Mas Arfa mlebet tanggal pinten?”

“Tanggal enem, Pak Mbali,” jawab Arfa.

Arfa menjawab dengan santun. Pandangannya tertuju ke saya—yang bertanya. Ia juga menghentikan HP yang sebelumnya ia mainkan. Ia menunjukkan sikap perhatian kepada lawan bicaranya. Dan yang sangat mengesankan: Arfa begitu tampak berusaha keras memakai basa kromo. Walau masih tertatih-tatih.

Saya pun bisa merasakan perubahan sikap Arfa. Dulu, jangankan menghentikan HP, menjawab saja, tidak. Kalau sudah pegang HP, Arfa sudah tidak bisa diganggu gugat. Orang lain yang mesti menyesuaikan. Jika tetap keukeuh memanggil/menanya Arfa yang sedang main HP, orang itu pasti diomeli Arfa. Dengan kalimat sekenanya—yang nyelekit dan cenderung menyakitkan hati pendengarnya.

Itu dulu. Sebelum Arfa masuk Pesantren. Satu semester ini Arfa sudah mengenyam pendidikan di Pesantren. Walau terhitung pesantren baru, faktanya pesantren tersebut menunjukkan layanan yang sangat membahagiakan wali santri.

Dan saat pulang liburan semester, saya bisa merasakan langsung perubahan sikapnya.

Saya bukan satu-satunya yg merasakan perubahan itu. Mbak Khun—ibu kandung Arfa—juga merasakannya. Mbak Khun itu kakak kandung saya. Saya anak nomor 9, Mbak Khun anak nomor 8. Demikian pula anggota keluarga lainnya. Semua merasakan perubahan sikap Arfa.

Arfa yang sekarang lebih santun, lebih peduli dan mau mengalah.

Saya sangat penasaran: skenario apa yang dilakukan di Pesantren?

Saya gali informasi. Dari Arfa. Saya tanya banyak hal. Tentang aktivitas harian, topik kajian, dan hal-hal lainnya. Saya juga tanya ke Mbak Khun. Sudah beberapa kali Mbak Khun menyambangi Arfa di Pesantren.

Saya dapat info dari Mbak Khun: guru-guru Arfa kebanyakan adalah alumni API (Asrama Perguruan Islam) Magelang.

Spontan, saya merasa telah mendapatkan jawabannya: karena guru.

Ya, saya pernah berkunjung dan belajar pengelolaan ngaji di API. Bahkan, saya berkesempatan merasakan langsung ngaji di beberapa kelas. Walau tanpa meja, para santri duduk dengan tertib. Seperti barisan yang tertata rapi. Posisi duduk antarsantri berjarak kira-kira 60 hingga 80 cm. Bahasa pengantar yang dipakai gurunya, basa kromo. Buku yang dipakai juga menggunakan basa kromo.

Saya jadi makin yakin: guru adalah faktor penentu keberhasilan pendidikan. Keyakinan itu bukan hanya berdasar teori, melainkan didukung dengan pengalaman nyata yang berkali-kali. Maka, sudah seharusnya guru mendapatkan porsi perhatian yang lebih banyak. Dan itu adalah salah satu tugas saya. Semoga Allah memudahkan saya menuntaskan tugas tersebut. (A1)

Baca juga: Empat Tugas Guru

Bagikan:
3 thoughts on “Karena Guru”
  1. masyaallah semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan atas niat baik kita

  2. Aamiin, semoga Allah senantiasa mengiringi dan meridhoi iktiar para guru.

Comments are closed.

Scan the code