Hari pertama pekan kedua Tahun Ajaran 2024/2025. Sekitar pukul enam pagi, saya menerima chat dari Ibu Hayatun Nufus. Beliau adalah ibunda Nadhif—anak yang baru 5 hari berstatus sebagai murid SD.

“Asalamualaikum, Ibu. Maaf mengganggu. Izin hendak menyampaikan ananda Nadhif badannya kurang fit, tetapi tetap mau (berangkat) ke sekolah. Enggak mau libur (dulu). Saya titip Nadhif. Terima kasih, Ibu.”

Antara sedih dan terharu. Dua perasaan itu mendominasi relung kalbu. Sedih, sebab Nadhif sudah “tumbang” di hari keenam belajar di sekolah baru. Rasa haru menyeruak tatkala mendapati fakta Nadhif tetap ingin berangkat sekolah. Akhirnya, rasa haru-lah yang menang. Sembari membalas chat ibunda Nadhif, seulas senyum tipis tersungging.

Demi membesarkan hati bunda Nadhif, jelang zuhur, saya mengirimkan foto Nadhif sedang khusyuk menonton tayangan video di layar. Disertai takarir bahwa Nadhif baik-baik saja.

Keesokan paginya, keteguhan Nadhif makin terbukti.

“Asalamualaikum, Ibu. Nadhif badannya hangat. Sudah minum obat. Tadi mau saya liburkan tapi dia tantrum nangis-nangis enggak mau libur, Bu. Mohon maaf sebelumnya, Ibu.”

Saya baru sempat membalas pesan tersebut tiga jam kemudian. Saat jam istirahat kedua. Memang, Nadhif tak seaktif biasanya. Namun, sama sekali ia tidak mengeluh. Saya sengaja tidak menanyai Nadhif. Informasi dari bundanya sudah lebih dari cukup. Saya tak ingin meruntuhkan optimisme dan semangat Nadhif.

Sembari menyantap kudapan, saya mengambil gambar Nadhif. Saat itu, ia bersama Elqeil sedang asyik membaca buku. Keduanya tergabung dalam kelompok “Kelapa”. Meja kelompok Kelapa tepat berada di depan meja saya. Saya layangkan foto itu kepada bunda Nadhif, yang mungkin sudah khawatir dan ingin segera mendapat kabar tentang kondisi sang putra.

Kapten Aqilaa memimpin doa pulang. Kelompok yang mendapatkan bintang terbanyak, berhak pulang terlebih dahulu. Kelompok Kelapa menjadi kelompok yang terakhir pulang.

“Mas Nadhif, kalau besok masih demam, tidak usah berangkat sekolah dulu, ya,” ucap saya sembari menerima uluran tangan Nadhif untuk salim.

Ekspresi wajah Nadhif langsung berubah. Tegang. Kedua matanya menyiratkan kekecewaan. Saya sempat menyesal mengucapkan kalimat tersebut. Jangan-jangan, saya telah meruntuhkan motivasi dan semangat Nadhif.

Saya tetap mengamati Nadhif hingga keluar kelas. Ia belok kanan untuk mengambil sepatunya di lorong menuju toilet. Tak berselang lama, Nadhif menemui ayahnya, yang sudah menunggu di batas suci tepat di depan pintu kelas.

Sambil memakai sepatu, Nadhif tampak mengobrol dengan sang ayah. Entah apa yang dibicarakan. Beberapa kali ia memegang keningnya. Sembari merekatkan sepatu kirinya, Nadhif memanggil saya.

“Bu Guru, aku sudah tidak demam,” teriaknya sambil memegang dahinya.

Saya tersenyum. Jempol tangan kanan saya acungkan ke arahnya.

“Oke!”

Lugu dan lucu sekali tingkah anak ini. Ia ingin meyakinkan semua orang bahwa ia baik-baik saja sehingga belum butuh “libur”. Nadhif tak ingin barang sehari pun melewatkan euforia status baru sebagai anak SD. Meski Selasa itu ia salah seragam, tak sedikit pun menciutkan nyalinya untuk tetap menikmati hari.

Bagikan:
4 thoughts on “Euforia Status Baru”
  1. I have been surfing online more than 3 hours today yet I never found any interesting article like yours It is pretty worth enough for me In my opinion if all web owners and bloggers made good content as you did the web will be much more useful than ever before

  2. masyaallah nadhif semoga Allah jaga semangat nadhif untuk menuntut ilmu

  3. Tampaknya, Nadhif menikmati suasana sekolah barunya: pergaulan dengan teman-temannya, interaksi dengan guru-gurunya, dan kegiatan-kegiatannya. Semua itu menjadi pengalaman bermakna baginya. Semoga Nadhif dan teman-temannya tumbuh menjadi anak-anak yang senang bersekolah, bukan sekadar bersenang-senang di sekolah.

Comments are closed.

Scan the code