“Anak-anak perlu merasakan kecewa, Pak Kambali,” tegas Bu Dian.
Rabu (31/07/2024) siang saya bertemu Bu Dian. Saya sangat terkesan dengan ucapan beliau di atas.
Saya sering mendengar cerita tentang kepompong. Pertama kali mendengar, saat pelatihan bersama KPI (Konsorsium Pendidikan Islam, sekarang: Kuanta). Sekitar 17 tahun yang lalu. Ada pemuda mengamati kepompong. Di dalamnya ada kupu-kupu muda. Kupu-kupu muda itu berjuang untuk keluar dari kepompong itu. Berkali-kali mencoba keluar dan gagal. Memang sudah terlihat ada lubang untuk jalan keluar, tetapi masih terlalu kecil. Belum cukup untuk jalan keluar kupu-kupu muda itu. Pemuda itu menjadi iba. Rasa belas kasihannya muncul. Bermaksud menolong kupu-kupu muda, pemuda itu ambil gunting dan memperbesar lubang. Kupu-kupu muda dengan mudah keluar dari kepompong.
Namun, apa yang terjadi? Setelah itu, ternyata kupu-kupu muda itu menjadi tidak bisa terbang. Pertumbuhannya tidak seperti kupu-kupu lainnya. Bahkan, akhirnya mati sebelum bisa terbang. Pemuda itu menyesal dan baru menyadari bahwa ia keliru. Semestinya ia membiarkan kupu-kupu muda itu berjuang keluar dari kepompong. Seharusnya ia tidak perlu membantu memperbesar lubangnya. Perjuangan kupu-kupu keluar dari kepompong itulah yang justru dibutuhkan. Sehingga, begitu keluar, kupu-kupu bisa terbang.
Itu memang hanya cerita. Bisa jadi fiktif, bisa jadi juga memang nyata. Namun, saya tidak fokus di bagian itu. Saya justru mendapat pelajaran dari penyesalan pemuda itu. Di masa muda butuh perjuangan. Perjuangan itu akan berdampak pada masa selanjutnya.
Murid-murid pun demikian. Mereka belajar untuk persiapan masa depan. Mereka sudah sewajarnya diberi kesempatan untuk bejuang. Dan saat murid berjuang, guru haruslah bersabar membersamainya. Guru perlu mewaspadai, agar tidak terjebak rasa belas kasihan, lalu membantu murid dengan bantuan yang tidak tepat waktu dan sasaran.
Itu salah satu alasan saya terkesan dengan ucapan Bu Dian Rabu itu. Mumpung masih di usia anak, murid perlu merasakan kecewa, lalu guru melatih bagaimana menyikapinya. Tentu tidak bisa sekali jadi. Butuh proses. Butuh waktu. Dan di situlah butuh kesabaran. Pun guru semestinya sudah punya pengalaman menyikapi kekecewaan. Sehingga guru mudah untuk mengajari muridnya menyikapi kekecewaan.
Ucapan Bu Dian juga mengingatkan saya atas salah satu pesan Luqman kepada putranya: bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Pesan itu diabadikan dalam Al-Qur’an surah Luqmān: 17. Pesan itu begitu simpel dan tampak biasa. Namun, untuk menjalankannya butuh kesungguhan dan perjuangan yang luar biasa. (A1)
Simplywall Pretty! This has been a really wonderful post. Many thanks for providing these details.
BaddieHub very informative articles or reviews at this time.
Mygreat learning This was beautiful Admin. Thank you for your reflections.
Techno rozen Good post! We will be linking to this particularly great post on our site. Keep up the great writing
Your blog is a true hidden gem on the internet. Your thoughtful analysis and engaging writing style set you apart from the crowd. Keep up the excellent work!
Betul sekali. Anak-anak harus diajarkan berjuang. Dari berjuang mereka berusaha dengan kemampuan mereka, tetapi tak bisa dipungkiri bahwa pasti ada suatu hal yang tidak sesuai yang mereka diinginkan. Nah, mereka harus diajarkan bagaimana cara menyikapi itu.