“Bu Wiwik sakit, Pak,” ujar Bu Ambar.
“Di mana?”
“Di UKS, Pak.”
“O, ya. Makasih infonya, Bu.”
Saya masuk ke ruangan. Hendak melihat langsung kondisi Bu Wiwik. Tempat yang dipakai istirahat Bu Wiwik tertutupi lemari. Setelah masuk ruang sebelum menuju tempat istirahat, saya terhenti. Niat saya untuk melihat Bu Wiwik seketika saya batalkan. Muncul gugatan: apa manfaat untuk Bu Wiwik kalau saya lihat sekarang? Bukankah saat ini Bu Wiwik butuh istirahat? Mengapa harus saya ganggu dengan mendatanginya? Biarlah istirahat dulu. Nanti kalau sudah sekiranya beberapa saat, baru akan saya lihat. Bahkan 30 menit lagi saya harus memastikan kondisi dan keikutsertaan Bu Wiwik.
Saya beralih ke komputer. Saya pilih merampungkan beberapa tugas yang belum saya tuntaskan. Hanya butuh waktu sebentar untuk menyelesaikannya. Saya tinggalkan komputer dan keluar ruangan. Saya kembali ke ruang saya. Dengan kegamangan: apa yang mesti saya lakukan? Memaksa Bu Wiwik ikut? Tidak mungkin. Memaksa Bu Wiwik tidak ikut? Saya tidak tega. Biarlah Bu Wiwik sendiri yang memutuskan. Beliau yang lebih tahu kondisi kesehatan badannya. Yang harus segera saya siapkan, justru diri saya sendiri. Saya harus siap dengan segala kemungkinan. Termasuk kemungkinan Bu Wiwik tidak ikut secara penuh—empat hari tiga malam.
Pukul 10.20. Belum ada tanda-tanda apa pun. Tinggal 10 menit. Saya harus memastikan keikutsertaan Bu Wiwik. Sekaligus saya mempersiapkan keberangkatan menuju lokasi lokakarya.
Tiba di depan ruang TU, saya bertemu dengan Bu Wiwik. Rupanya beliau sudah keluar dari ruang UKS.
“Pripun kondisinya, Bu?”
“Alhamdulillah, sudah membaik, Pak.”
“Alhamdulillah. Memungkinkan ikut apa enggak?”
Bu Wiwik terdiam. Tidak langsung merespons. Saya menduga, Bu Wiwik juga masih ragu dengan kondisinya. Saya tawarkan opsi lain.
“Kalau tidak memungkinkan ikut, ga pa-pa. Saran saya, Bu Wiwik istirahat dulu. Sekiranya merasa sudah pulih dan lebih nyaman, besok Bu Wiwik menyusul.”
“Insyaallah memungkinkan, Pak. Berangkat jam pinten?”
Saya lihat jam di HP. Pukul 10.35. Sudah melebihi lima menit.
“Sekarang, Bu,” jawab saya.
“Nggih, Pak.”
Kami menuju titik kumpul keberangkatan. Bergabung dengan pengabdi dari unit lain—PAUD, SD 01, SMP, dan SMA. Sebagian besar peserta sudah hadir. Tinggal beberapa personel yang belum hadir. Setelah menunggu beberapa saat, rombongan pun lengkap dan kemudian berangkat menuju lokasi.
Pak Umar—ketua Yayasan Abul Yatama—hadir di lokasi saat saya masih makan siang. Ups, tidak hanya saya yang sedang makan. Saya lihat ruang makan, ternyata masih sangat banyak yang belum selesai makan.
Pukul 13.00 Bu Suci memulai acara pembukaan. Lokakarya penyusunan program ini dibuka oleh Pak Umar. Sebelum membuka, beliau menyampaikan sambutan.
Bagi saya, sambutan Pak Umar kali ini terasa sangat istimewa. Sekaligus melegakan hati. Saya sudah sering mengikuti sambutan beliau. Khususnya di acara internal LPI Hidayatullah. Baik audiensnya pimpinan maupun semua pengabdi LPI Hidayatullah. Sering kali beliau menyampaikan apresiasi kepada LPI Hidayatullah atas capaian-capaiannya. Hampir bisa dikatakan, beliau tidak pernah menyinggung kekurangan atau catatan negatif.
Di lokakarya kali ini berbeda. Beliau berkenan menyampaikan catatan negatif beliau. Sebagai bahan untuk perbaikan LPI Hidayatullah. Itulah yang saya sebut istimewa: beliau menyampaikan catatan negatif LPI Hidayatullah.
Memang beliau sempat menyampaikan, mumpung ini hendak menyusun program kerja. Asumsi beliau: catatan negatif akan jadi bahan diskusi dalam penyusunan program kerja untuk memperoleh solusinya.
Apa catatan Pak Umar? Cukup banyak. Salah satunya, tentang disiplin. Ini salah satu karakter yang sudah sepatutnya ditanamkan kepada para murid di LPI Hidayatullah. Dan menurut Pak Umar, itu akan efektif, jika dimulai dari keteladanan guru. Pembiasaan guru akan efektif, jika diawali dari keteladanan pimpinan. Artinya, penanaman karakter disiplin untuk para murid akan efektif, bila dimulai dari keteladanan pimpinan.
Saya sepakat dengan yang disampaikan beliau. Namun, bukan itu yang membuat saya lega. Pak Umar memberi contoh nyata kedisiplinan yang harus mendapat perhatian dan perbaikan: disiplin waktu.
Acara pembukaan lokakarya terjadwal pukul 12.30. Sebelum 12.30, Pak Umar sudah rawuh. Dan beliau melakukan itu dengan perjuangan. Namun, kenyataannya acara pembukaan baru dimulai pukul 13.00. Itu contoh riil yang mudah dipahami oleh seluruh peserta lokakarya. Itulah yang membuat saya lega: Pak Umar realistis walaupun itu belum sesuai harapan beliau.
Bagi saya, sikap beliau itu akan mempermudah proses perbaikan. Bukankah kekuatan pendidikan terletak pada proses? Proses yang diiringi dengan evaluasi dan tindak lanjut. Pak Umar menyebutnya dengan istilah continuous improvement.
Saya meyakini continuous improvement akan lebih mudah dilaksanakan bila dimulai dari refleksi diri. Semoga. (A1)
Masyaallah