Selasa pagi yang hectic. Beberapa agenda tersusun rapi dalam ingatan. Berkecamuk dalam benak akankah semua terlampaui. Dalam durasi 1 jam, setidaknya terdapat empat hal yang terencana untuk diselesaikan. Niat dalam hati, pukul enam harus sudah sampai Sekolah.
Sepanjang perjalanan menuju Sekolah, otak bekerja menentukan prioritas. Kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi pun semakin membuat diri tak tenang. Bahkan, kegagalan berpeluang menjadi keniscayaan.
Tiba di Sekolah (SDIH 02). Lancar. Pintu ruang guru sudah terbuka. “Oke, sudah scan,” mesin presensi menjawab otomatis setelah berhasil mendeteksi sidik jari yang ditempelkan. Pukul 06.03. Meleset tiga menit dari ekspektasi. “Tak apalah,” batin saya, “cuma tiga menit.”
Bergegas mengambil dua ember, 1 gembor, 1 gayung, dan sebuah stoples cukup besar yang difungsikan sebagai penadah air. Dua keran dibuka dengan setelan air sedang. Gembor dan stoples ditadahkan di bawah keran yang terpasang di dua wastafel batu alam depan Sekolah. Prosedur ini dapat mempercepat pemerolehan air. Beruntung, sejak beberapa hari lalu pompa air tak berfungsi. Aliran air mengandalkan pasokan PDAM yang tak terlalu deras.
Tanaman pucuk merah dan ketapang kencana seolah berdesah sendu, mengharap uluran tangan. Tak sedikit helai daunnya menekuk ke dalam, tanda butuh air. Terenyuh hati ini. “Maaf, ya,” lirih saya berucap pada sang pohon.
Air yang tertampung dua ember di keran belakang telah mencukupi. Satu keran dimatikan. Kedua tampungan air tersebut digabung dalam salah satu ember. Gayung tak lupa dicelupkan. Ember kosong ditadahkan di bawah keran yang masih terbuka. Kali ini aliran air keran sengaja diperbesar.
Seember air berisi kurang lebih sembilan gayung. Cukup untuk mengairi tiga pohon. Air meluber pada stoples yang tertadah. Segera digunakan untuk menyiram pohon terdekatnya. Target dua stoples untuk satu pohon. Setelah kosong, stoples ditadahkan kembali. Ember kosong disiapkan kembali untuk mengganti ember yang menadahi air di keran belakang. Di sudut pintu, gembor telah penuh. Gayung ditadahkan di bawah keran untuk menggantikan gembor. Air di dalam gembor disiramkan ke pohon ketapang kencana di dekatnya. Ada dua pohon. Butuh tiga gembor air untuk menyiramnya. Empat kali prosedur itu dilakukan hingga semua tanaman telah tersiram.
Done. Cêklèk. Pintu terkunci. Segera kunci berpindah tangan ke petugas sekuriti yang berjaga di pinggir jalan untuk mengatur lalu lintas mobil pengantar siswa. 06.19, “Alhamdulillah, sesuai rencana,” batin saya. Bergegas, saya menuju ruang kelas 1D (SDIH). Laptop dikeluarkan dari tas, disambungkan dengan charger-nya yang telah dipastikan teraliri listrik. Tombol power ditekan. Jeda. File explorer, quick access, download, materi pra-Ramadan, Selasa, adalah urutan ikon yang harus diklik.
“Masih ada tujuh menit menuju 06.30. Bisa digunakan untuk salat Duha. Mumpung lagu pagi belum diputar,” batin saya. Tunai. Siswa mulai berdatangan.
“As-salāmu ’alaikum, Bu Wiwik,” sapa mereka.
“Wa ’alaikumus-salām, Nak. Buku-buku dan bekal dikeluarkan dari tas, ya, lalu disusun sesuai penjelasan Bu Lilis kemarin,” pinta saya.
Beberapa siswa terlihat bingung. Ini adalah kali pertama mereka melakukan prosedur baru ini. Untuk mengurangi kepadatan kelas, tas siswa dicantolkan di gantungan tas di luar kelas sehingga isinya harus dikeluarkan.
Saya mendekati mereka, menyimulasikan. “Coba diulang lagi caranya seperti yang Bu Wiwik contohkan tadi.”
Berhasil. “Nanti, tolong teman-teman yang baru datang diberi tahu caranya, ya. Bu Wiwik mau keluar sebentar.”
Di UKS, Bu Chandra sudah menunggu. Sebelumnya sempat beberapa kali terlintas untuk mengirim chat ke beliau. Isi chat itu sudah pernah terkirim ke beliau, jadi tinggal forward saja. Beruntung, hal itu saya urungkan. Nyatanya, Allah memudahkan kami untuk bersua. Passed.
Kembali ke kelas. Ternyata, sebagian besar siswa yang datang tak paham apa yang diinstruksikan kemarin. Mereka butuh simulasi. Noted. Nanti di sela-sela mengajar, bisa disimulasikan. Sekarang berusaha dulu sekenanya.
“Mas Eza, tolong Mas Falah diajari caranya!” seru saya.
Kalimat itu tak hanya sekali dua kali terucap. “Oh, iya, hari ini hari kedua Raya ikut PTM.” Bergegas saya menuju gerbang penyambutan. Sejurus kemudian, yang dinanti datang.
“As-salāmu ’alaikum, Mas Raya. Diantar siapa tadi?”
“Wa ’alaikumus-salām, Bu. Tadi Raya diantar Babe. Naik Vespa. Raya suka naik Vespa.”
“Oh, ya? Wah, seru sekali naik Vespa dari Pudak Payung.”

Keduanya menuju kelas lalu merapikan barang-barang yang ada di tas.
“Karena belum bel, Mas Raya boleh main dulu dengan teman-teman.”
“Mas Almair, itu Raya diajak main.”
***
Hymne Hidayatullah terdengar nyaring dari speaker Sekolah. Waktunya anak-anak pulang.
Sejenak diri bersenandika, “Indahnya hari ini. Empat agenda utama terlaksana, bahkan melebihi harapan, jadi enam. Satu hal yang kurang: mengapa tadi pagi saya lupa untuk meng-0-kan ekspektasi? Bukankah itu yang seharusnya dilakukan?”
Namun, tak ada salahnya untuk mengucap syukur. Alhamdulillah. Mission accomplished. Beyond expectation.