Suparmi
Hal yang menarik dan mengasyikkan ketika memperbincangkan soal anak. Tak akan ada habisnya. Mulai dari kelucuannya, imutnya, kepolosannya, keunikannya, sampai pada hal-hal yang di luar dugaan. Semua yang mengenai anak, menjadikan bergairah untuk membicarakannya.
Lebih menarik lagi saat dihadapkan pada kenyataan bahwa murid kita ada yang “berbeda”. Ada dorongan untuk masuk ke dunianya. Kami ingin mengerti, menerima, serta memberikan kontribusi terbaik. Namun, kami sering belum tepat dalam memahami perilakunya akibat kurangnya pengetahuan. Akhirnya sering muncul kesimpulan sepihak.
Di SD Islam Hidayatullah 02 ada siswa yang “istimewa”. Perilakunya tidak seperti teman-temannya. Beliau suka asyik dengan dirinya sendiri. Dia tidak bodoh, bahkan cenderung cerdas. Hampir setiap pertanyaan yang dilontarkan gurunya, beliau jawab secara tepat. Saya memilih kata “cenderung cerdas” karena belum melihat data hasil tes IQ, hanya berdasarkan gejala yang tampak.
Agar tidak terjadi malapraktik, kami merasa butuh ilmu dalam melayaninya. Setidaknya, sedikit pengetahuan tentang bagaimana memahaminya. Untuk itu, kami menyisihkan waktu untuk belajar bersama. Jadilah bincang-bincang sejawat pada Sabtu, 21 Oktober 2023. Selain Kepala Sekolah, kami juga ditemani Pak Teguh.
Sebelumnya, Pak Teguh sudah membagikan tulisan singkat berjudul “Bersahabat dengan Anak ADHD”. Kendati dikemas singkat dan padat, naskah itu sarat informasi yang cukup membuat mata kami terbuka. Seperti biasa, Pak Teguh tidak suka mengkhotbahkan apa yang sudah beliau tulis. Hanya beberapa poin beliau singgung sebagai penegasan. Sisanya, beliau lebih banyak menyimak “curhatan” kami yang heboh.
Di kelas kami memang ada anak “istimewa” yang cukup menyita perhatian kami. Pak Teguh juga sempat mengobservasinya. Sebenarnya kami juga sudah dibekali formulir observasi yang bisa kami gunakan untuk mengidentifikasi gangguan yang dialami anak tersebut. Namun, kami masih saja penasaran dengan “vonis” Pak Teguh berdasarkan hasil observasinya.
“Indikasinya cukup kuat. Namun, sekali lagi, kita tidak punya otoritas untuk menetapkan diagnosis. Itu wewenang ahli,” jawabnya tegas, sambil menunjukkan bagian naskah yang memuat pesan serupa.
Di dalam risalahnya, beliau memang mewanti-wanti bahwa guru tidak punya kapasitas untuk mendiagnosis, apalagi memvonis, jenis kebutuhan khusus yang disandang anak. Namun, tidak berarti guru hanya boleh tinggal diam. Guru bisa mendeteksi gejala-gejala yang tampak pada perilaku anak. Lalu diidentifikasi kekhususannya berdasarkan ciri-ciri yang dirumuskan para ahli. Sambil menunggu hasil diagnosis ahli, guru dapat memberikan akomodasi dan intervensi menurut indikasi kekhususan itu.
“Cuma, yang saya belum tahu, ke mana anak yang terindikasi berkebutuhan khusus itu mesti dirujuk untuk kali pertama. Apakah ke psikolog, psikiater, neurolog, atau dokter anak? Kalau di beberapa negara maju, kajiannya lebih banyak dilakukan di klinik pediatri, kedokteran anak,” imbuhnya.
Dari forum bincang-bincang itu kami juga menjadi lebih jernih dalam memandang anak ADHD. Bahwa ADHD itu bukan cacat, bukan pula penyakit. Penyandang ADHD mengalami gangguan neurobiologis. Maka, diagnosisnya menjadi ranah medis atau kedokteran.
Berbeda dari penyandang cacat fisik, kelainan ADHD tidak kasatmata. Yang tampak hanya gejala-gejalanya yang muncul dalam perilaku. Celakanya, gejala-gejala itu cenderung menggoda emosi guru.
Karena kelainannya tersembunyi, penyandang ADHD tidak mudah mengundang simpati. Ini berbeda secara diametral dibanding penyandang cacat fisik. Akibat perilakunya yang cenderung serba menjengkelkan, anak AHDH berpotensi untuk dijauhi dan dikucilkan oleh lingkungan sosialnya. Di situlah peran guru menjadi krusial. Guru punya tantangan untuk merekayasa iklim kelas.
“Saya salut. Selama masa pengamatan, saya merasakan iklim yang cukup ramah di sini. Anak-anak begitu nyaman belajar bersama temannya yang ‘berbeda’ dari mereka,” aku Pak Teguh. “Ini karya guru, Pak Kambali. Layak untuk diapresiasi,” simpulnya.
Dari semula hanya dengar-dengar istilahnya—bahkan hanya singkatannya, sekarang saya punya gambaran yang gamblang tentang ADHD. Mulai dari gejala-gejalanya, komorbiditasnya, hingga bentuk-bentuk akomodasi dan intervensi yang perlu diberikan.
Ternyata, eh, ternyata, … semua perilaku semau gue yang muncul pada anak ADHD itu terjadi tanpa kendali pelakunya. Dia tidak menyengaja untuk melakukannya. Pak teguh memberikan ilustrasi, “Penyandang ADHD itu ibarat penunggang WinAir (julukan beliau untuk ‘pesawat’ kebanggaannya) meluncur turun dari puncak Telomoyo tanpa rem.”
ADHD bukan disabilitas mental/intelektual. ADHD bisa dialami oleh sembarang anak dengan tingkat kecerdasan apa pun. Bahkan, manusia sejenius Albert Einstein pun oleh para ahli ditengarai sebagai penyandang ADHD.
Gejala-gejala ADHD digolongkan menjadi tiga macam gangguan: lemah perhatian (inattentive), hiperaktivitas, dan impulsivitas. Ada yang dominan lemah perhatian saja (dahulu disebut ADD), ada yang dominan hiperaktif/impulsif (keduanya biasanya hadir sebagai satu paket) saja, dan ada yang gabungan. Dahulu, sebutan ADHD merujuk pada tipe terakhir itu.
ADHD sering “diperparah” oleh kehadiran komorbiditas. Ada CDC, CD, DCD, ASD, tics, kecemasan hingga depresi, gangguan tidur, serta—yang hampir pasti—gangguan belajar. Duh, ternyata AC/DC punya banyak kerabat, ya? Yang jelas, saya tidak berani menulis kepanjangan dari singkatan-singkatan itu. Takut, eh, dijamin salah!
Saya makin penasaran, terapi apa yang bisa dilakukan guru untuk mengurangi gangguan-gangguan itu. Ups, guru bukan terapis. Pak Teguh hanya menganjurkan tiga resep yang bisa dilakukan guru. Pertama, membalik bingkai (reframing). Artinya, guru memandang keanehan-keanehan anak ADHD dengan kacamata positif. Kalau anak suka menginterupsi, misalnya, guru memandangnya sebagai bentuk antusiasme untuk berkontribusi.
Resep kedua, merekayasa iklim. Yang dimaksud, menciptakan dan mengembangkan iklim kelas yang ramah. Seperti manusia pada umumnya, anak ADHD butuh diterima kehadirannya. Di sini, guru memegang peran kunci. “Cara guru mereaksi seorang murid, punya pengaruh besar terhadap cara murid-murid yang lain memperlakukan dia,” pesan Pak Teguh.
Resep ketiga menyangkut akomodasi dan intervensi. Tujuannya bukan untuk memberikan privilese. “Penyandang ADHD tidak butuh diistimewakan karena dia sudah istimewa dari sana-nya,” kata Pak Teguh lagi. Akomodasi diberikan dalam rangka mengurangi paparan sumber gangguan. Sedangkan intervensi dilakukan untuk mengoptimalkan perkembangan perilaku positifnya, baik perilaku sosial-emosi maupun perilaku belajar.
Bincang Sabtu yang santai tetapi seru. Kami, terutama saya, jadi melek lebih lebar. Perspektif kami tentang anak berkebutuhan khusus menjadi lebih luas.