Selasa (01/08/2023) itu saya butuh mengadakan rapat. Tiga guru harus saya ajak. Saya cek jadwal. Waktu yang paling mungkin: setelah anak pulang sekolah. Saya undang sejumlah guru. Ke musala. Waktu yang saya tuliskan pada undangan, pukul 13.50. Terjeda 20 menit. Dari bel kepulangan anak. Lumayan, untuk memastikan kepulangan anak.
Saya memang berharap, rapatnya hanya sebentar. Artinya, pembahasan lancar, cepat, dan segera ada titik temu. Bila benar begitu, saya juga bisa beralih ke acara berikutnya. Namun demikian, saya tetap berkomitmen, bila dibutuhkan waktu hingga pukul 15.00, pun tidak masalah. Acara pukul 14.30 akan saya tunda.
Alhamdulillah, akhirnya rapat dapat terlaksana. Diikuti empat orang. Saya, Bu Wiwik, Bu Amik, dan Bu Shoffa. Lancar. Muncul adu argumentasi. Namun, masih sewajarnya. Sebagaimana umumnya musyawarah. Saya lihat jam. Pukul 14.39.
“Bu Shoffa, nyuwun tulung, Bu Eva dan Pak Aruf diajak ke ruang saya. Kita lanjutkan acara berikutnya,” kata saya.
“Nggih, Pak,” jawab Bu Shoffa.
Sebelum Bu Shoffa keluar ruangan, saya buka HP. Ada pesan masuk. Dari Bu Eva.
“Asalamualaikum, Pak Kambali. Hari ini kami ke ruang Pak Kambali, nopo mboten, nggih?“
“Nggih, Bu Eva.”
Membaca pesan Bu Eva, seketika saya ingat kejadian Sabtu (29/07/2023). Hari itu ada kegiatan belajar Al-Qur’an. Bu Eva tidak ikut. Mengapa?
Begini ceritanya. Sejak pertengahan Juni 2023, setiap Sabtu selepas Zuhur rutin dilaksanakan belajar Al-Qur’an. Diikuti semua pengabdi SD 02. Saya memang kurang konsisten. Kadang saya umumkan di grup. Kadang saya tidak umumkan. Walau tidak saya umumkan, teman-teman pengabdi, 100% mengikuti. Saya pun berkesimpulan: teman-teman sudah paham.
Sabtu (29/07/2023) itu saya tidak mengumumkan di grup.
Karena tidak ada pengumuman, Bu Eva menganggap tidak ada acara. Ternyata ada. Bu Eva baru tahu kalau ada acara setelah acara selesai. Tidak berselang lama, Bu Eva kirim pesan ke saya, “Pak Kambali, mohon maaf, saya tadi mboten nderek ngaji. Mboten ngertos kalau ada ngaji lagi.”
Saya memakluminya. Sekaligus mengoreksi kesimpulan saya sebelumnya. Artinya, saya menyadari, saya berkontribusi atas ketidakhadiran Bu Eva. Ini sebagai pembelajaran untuk saya. Di kesempatan berikutnya, saya perlu memperbaikinya.
Atas dasar itu, saya memohon bantuan Bu Shoffa untuk mengabari Bu Eva dan Pak Aruf. Saya menduga, Bu Eva dan Pak Aruf sama-sama ragu. Antara diliburkan atau tetap dilaksanakan. Dengan memohon bantuan Bu Shoffa, saya hendak memastikan kepada Bu Eva dan Pak Aruf.
Namun, sebelum Bu Shoffa keluar ruangan, ternyata Bu Eva sudah terlebih dahulu bertanya. Melalui chat WhatsApp. Saya menjadi sangat terkesan dengan pertanyaan itu: Bu Eva belajar.
Tiga hari sebelumnya Bu Eva tidak ikut acara. Beliau sadar itu keliru. Lalu memohon maaf. Kali ini (Selasa, 01/08/2023) seakan tidak ingin terulang kembali kejadian sebelumnya, beliau pilih bertanya. Memastikan libur tidaknya kegiatan pukul 14.30 itu.
Mengakui kekeliruan, memohon maaf, dan beriktikad tidak mengulangi kembali. Itulah konsep tobat. Bu Eva telah mempraktikkannya. Saya tersenyum. Mentertawakan diri saya sendiri. Saya sudah tahu ilmunya. Namun, terkadang masih sangat susah mengamalkannya. Bu Eva telah mengajari saya: ilmu semestinya diamalkan. (A1)
Memiliki hati yang besar yaitu berani mengakui kesalahan dan meminta maaf serta menjadikan pembelajaran supaya tidak terulang kembali.
Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan, sangatlah terpuji jika ia mau mengakui kesalahannya dan berusaha untuk memperbaikinya. Jadikan kesalahannya pembelajaran untuk menjadi lebih baik