“Habis ini, saya mau ngaji, Pak,” kata Bu Ambar.
“SPPD-nya, Mbak?” Bu Wiwik menyela sekaligus mengingatkan.
“O, iya.”
Percakapan usai koordinasi itu terjadi di ruang Kepala Sekolah. Koordinasinya lebih cepat dari biasanya. Tidak lebih dari 10 menit. Maklum, Sabtu (4/2) itu kegiatannya sangat padat. Hal-hal yang tidak mendesak dan dapat dibicarakan lain waktu, saya tunda pembahasannya. Dengan begitu, saya berharap teman-teman berkesempatan menjalankan kegiatan dengan lebih leluasa tanpa kemrungsung.
Salah satu kegiatan hari itu, home visit. Tiga guru ditugaskan untuk silaturahim ke sejumlah murid yang sudah ditentukan. Sebagai staf TU, Bu Ambar bertugas menyiapkan SPPD-nya. Mengingatkan orang lain—sebagaimana yang Bu Wiwik lakukan kepada Bu Ambar—merupakan kebiasaan baik yang saya harapkan menjadi salah satu budaya kerja di sekolah ini.
Bu Ambar bergabung di SD Islam Hidayatullah 02 mulai Juli 2022. Sebagai pengabdi—sebutan karyawan di lingkungan LPI Hidayatullah—baru, Bu Ambar berkesempatan mengikuti program induksi. Salah satu yang diinduksikan adalah kemampuan membaca Al-Qur’an. Agar dapat membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar, Bu Ambar mengaji dengan pengabdi lain yang telah memenuhi syarat dan ketentuan.
Hari itu Bu Ambar menemui kenyataan, harus segera menyiapkan SPPD home visit pada waktu yang bersamaan dengan jadwal mengaji. Dua hal yang sama-sama harus dijalankan dengan tuntas.
Dalam kondisi seperti itu, saya pernah memergoki pengabdi lain yang nyeletuk, “Saya itu kan TU, kenapa harus ngaji segala? Emang kalau saya ngaji, terus pekerjaan TU jadi cepat selesai? Pekerjaan TU terus jadi mudah?”
Ada pula pengabdi yang menyikapi kondisi seperti itu dengan cara lain. Ia tidak menyiapkan SPPD. Ia pilih mengaji. Waktu ditagih SPPD, ia jawab, “Maaf, saya tidak membuatkan SPPD karena saya harus ngaji.”
Dua model pengabdi yang seperti ini biasanya sedang dalam kondisi kemrungsung. Ia pilih mengkambinghitamkan hal/pihak lain dan lupa untuk evaluasi diri.
Dalam konteks ini, saya cukup berbangga dengan Bu Ambar. Beliau sudah berkali-kali menghadapi banyak tugas mendesak yang berbarengan dengan jadwal mengaji. Beliau mampu menyelesaikan tugas mendesak tersebut tanpa mengalahkan ngaji.
Pada Juli 2022, Bu Ambar dites membaca Al-Qur’an untuk keperluan pemetaan. Hasilnya, Bu Ambar perlu belajar mulai dari jilid 2 halaman 1—menggunakan metode UMMI yang terdiri atas 6 jilid. Pada Februari 2023, Bu Ambar sudah mengaji jilid 5. Artinya, selama kurang lebih 7 bulan, Bu Ambar dapat menyelesaikan 3 jilid.
Saya mengapresiasi perjuangan Bu Ambar yang luar biasa.
Bu Ambar mengaji dengan Ustazah Fitrowati. Tempatnya di SD Islam Hidayatullah—selanjutnya ditulis sebagai SD 01. Itu karena kantor Ustazah Fitrowati berada di SD 01. Sementara, kantor Bu Ambar berada di SD 02. Jadi, butuh perjuangan untuk perjalanan dari SD 02 ke SD 01. Memang secara jarak tidak terlalu jauh, tetapi kalau tidak ada komitmen yang kuat, saya perkirakan jarak akan jadi alasan untuk tidak mengaji.
Apabila sudah tuntas menyelesaikan satu jilid, Bu Ambar berkesempatan naik ke jilid berikutnya. Namun, itu tidak otomatis. Bu Ambar harus dites terlebih dahulu. Pengujinya adalah Ustazah Ida. Hasil tes tidak selalu lulus. Bergantung pada penilaian Ustazah Ida. Bila kecakapan Bu Ambar sudah sesuai standar, Ustazah Ida meluluskannya. Namun, bila masih belum sesuai, Ustazah Ida tanpa segan akan meminta untuk mengulang kembali.
Bu Ambar pun pernah mengalaminya. Kamis, 6 Januari 2023, Bu Ambar menghadap Ustazah Ida. Tes kenaikan jilid. Dari jilid 4 ke jilid 5. Hasilnya: ulang. Bu Ambar harus mengulang lagi jilid 4. Bagi sejumlah orang, hasil semacam ini bisa jadi justru mengendurkan semangat. Akibatnya, mereka ngambek dan tidak mau mengaji lagi. Namun, Bu Ambar berhasil melaluinya. Beliau tetap bertahan, tetap mengikuti proses berikutnya. Beliau mengaji jilid 4 kembali dengan Ustazah Fitrowati. Dan tidak berselang lama—masih di Januari 2023—Ustazah Fitrowati merekomendasikan Bu Ambar untuk maju tes lagi. Hasilnya: lulus. Bu Ambar naik ke jilid 5.
Memang, mampu membaca Al-Qur’an bukanlah kompetensi yang dipersyaratkan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi TU. Namun, sebagai muslim sudah sewajarnya mampu membaca Al-Qur’an. Apalagi sebagai pengabdi LPI Hidayatullah, mampu membaca Al-Qur’an merupakan salah satu kompetensi yang harus dikuasai. Tidak hanya para murid yang dibimbing untuk bisa membaca Al-Qur’an, tetapi juga seluruh pengabdi—guru maupun nonguru. Bukankah sasaran visi adalah seluruh warga LPI Hidayatullah? Bukan hanya muridnya. (A1)