“Alhamdulillah! Luar biasa! Tetap semangat! Allahu Akbar! Yes yes yes, jos!”
Itulah jawaban anak-anak saat saya menanyakan kabar mereka. Sebagaimana yang dilisankan, gestur dan mimik mereka pun powerful. Menanya dan menjawab kabar semacam ini menjadi salah satu pintu masuk guru untuk menyiapkan murid-muridnya menerima pelajaran.
Adys, Celline, Asha, Ano, dan Javier telah siap belajar. Idealnya, anak-anak dikondisikan untuk duduk bersila di belakang meja lipat setinggi kira-kira 30 cm. Namun, saya menyadari, tidak semua anak nyaman dengan posisi ini dalam waktu yang cukup lama. Ano, salah satunya. Kepadanya, saya sering memberikan pengecualian. Anak ini mungkin bertipe kinestesis yang tidak betah berlama-lama duduk diam.
Beberapa kali, saya “memanfaatkan” ketidakbisadiaman Ano. Saat pulpen saya ketinggalan. Saat pintu masih terbuka. Saat kipas angin belum dinyalakan. Dan saat-saat saya butuh bantuan fisik lainnya, saya mintakan bantuan Ano. Yang dimintai bantuan pun dengan senang hati melaksanakan.
Lain lagi dengan Adys. Gadis manis ini sangat piawai menjaga dirinya. Ia selalu tertib dan memperhatikan perkataan gurunya.
“Tadi malam, aku, eh, saya sudah belajar ngaji sama Mama Winda,” jelas Adys agak terbata.
“Masyaallah. Mbak Adys rajin sekali. Setelah belajar, jangan lupa ucapkan terima kasih kepada Mama, ya. Kan Mbak Adys sudah diajari Mama,” respons saya.
Sesungguh-sungguh itu Adys berusaha mengubah kebiasaannya dari kata “aku” menjadi “saya”. Ini merupakan satu dari banyak hal yang Adys usahakan untuk menyesuaikan diri dengan pembiasaan di sekolah barunya.
Di kesempatan lain, dengan berbinar, Adys melapor, “Bu Wiwik, hari ini saya sudah salat Subuh.”
“Alhamdulillah. Mbak Adys hebat. Semoga setiap hari bisa salat 5 waktu, ya, Nak,” jawab saya tak kalah ekspresif dengan Adys.
“Saya belum belajar, Bu!” seru Celline sambil mengangkat tangan.
“Soalnya, kakak saya di rumah sakit. Amandelnya diambil,” terang Celline.
“Oh, iya. Hari Senin kemarin Mbak Celline sudah cerita tentang operasi Kakak, ya. Sekarang, Kakak masih di rumah sakit atau sudah di rumah?”
“Sudah di rumah, Bu.”
“Alhamdulillah. Iya, nggak pa-pa kalau Mbak Celline belum belajar ngaji. Semoga nanti Allah mudahkan Mba Mbak Celline, ya. Mbak Celline juga hebat seperti Mbak Adys. Celline anak yang jujur.”
Selain jujur, Celline juga pernah kedapatan melakukan kebaikan kecil nan manis kepada Adys. Seusai mengaji, Celline telah lebih dulu salim, sehingga ia bisa bergegas mengembalikan meja dan mengambil botol minumnya. Adys menyusul di belakang Celline. Tanpa ba-bi-bu, Celline mengambilkan botol minum Adys dan menyerahkannya kepada si empunya. Adys pun dengan refleks mengucapkan terima kasih. Masyaallah, pemandangan yang menyejukkan hati.
***
Setelah murajaah surah pendek, saya persilakan anak-anak minum. Saya sengaja menyempatkan diri untuk mengamati anak-anak.
“Alhamdulillah,” batin saya.
Sehari sebelumnya, pada situasi yang sama, saya beristigfar. Javier sadar. Ia pun mengalihkan botol minumnya ke tangan kanannya. Ya, itulah salah satu kebiasaan Javier. Ia memegang botol minum dengan tangan kiri, membuka tutupnya dengan tangan kanan. Ia pun minum menggunakan tangan kiri.
Hari ini, Javier mulai waspada. Sebelum minum, ia mengalihkan botolnya ke tangan kanan. Tutup botolnya ia taruh di karpet. Lega rasanya. Selesai mengamati anak-anak, saya pun meneguk bekal minum yang saya bawa. Terasa lebih nikmat dari biasanya.
Tak hanya Ano, Adys, Celline, dan Javier. Asha pun menunjukkan dirinya berproses menuju kebaikan. Dengan gaya khasnya yang apa adanya, Asha pernah menegur Adys supaya menjaga buku ngajinya. Kala itu, Adys tidak sengaja menaruh buku ngajinya di karpet.
“Adys!” panggil Asha sambil melirik ke arah karpet tempat buku ngaji Adys tergeletak.
Adys pun segera sadar akan kealpaannya. Ia bergegas meletakkan buku mengajinya di atas meja.
Satu demi satu kejadian sarat makna ini saya refleksi. Saya kian menyadari bahwa saat mengaji merupakan salah satu momen yang efektif untuk menanamkan dan menguatkan pembiasaan Sekolah. Dalam kelompok kecil seperti ini, akan lebih mudah mengajak anak-anak menginternalisasi nilai kebaikan dari suatu pembiasaan baik. Tak hanya mengaji biasa. Mengaji berbonus akhlak. (A2)