Kegiatan littlepreneur pekan itu diganti menjadi hari Kamis. Seperti biasa, anak-anak selalu antusias menyambutnya. Setelah bel berkumandang, murid-murid berbondong-bondong menuju lantai 2, kantin.

Saya menatap seisi kelas, memastikan tak ada anak yang tertinggal. Namun, pandangan saya tertumbuk pada satu anak: Celline. Ia masih berjalan-jalan pelan di dalam kelas, tak beranjak ke atas seperti teman-temannya.

“Celline nggak naik ke atas?” selidik saya penasaran.

“Celline nggak bawa uang, lupa,” jawabnya lirih sambil menggeleng.

Saya menahan napas sejenak, hati saya menjadi galau. Tapi kemudian saya bertanya lagi, “Tapi Celline bawa bekal, nggak?”

“Bawa,” katanya.

Saya mencoba menawarkan, “Celline mau jajan, nggak?”

“Enggak, Bu. Celline mau di kelas aja.”

Saya memastikan sekali lagi, “Bener? Bu Eva tinggal ke atas nggak pa-pa?”

Celline mengangguk. Meski ada rasa iba, saya cukup lega karena masih ada makanan yang bisa mengisi perutnya.

Di lantai atas sudah ramai. Kantin dipenuhi murid-murid kelas 1—3. Sudah ada yang menyantap makanan. Ada juga yang masih mengantre.

Selang beberapa menit, di tengah keramaian, tampak Celline berdiri membawa uang di tangannya sedang mengantre. Pertanda akan membeli sesuatu. Saya langsung bertanya dalam hati, “Dari mana Celline dapat uang?”

Setelah membeli makanan, Celline duduk dan mulai makan dengan tenang. Saya menghampirinya, tak sabar ingin tahu kisah di balik senyum kecilnya.

“Celline jadinya bawa uang?”

“Celline dikasih Salma, Bu. Tadi Celline kasih beng-bengnya Celline, terus Salma ngasih Celline uang,” terangnya.

Masyaallah. Saya terdiam, haru. Saya tidak ingin mengganggu waktu makannya lebih lama. Tapi hati ini sudah dipenuhi rasa kagum.

Tak lama, saya pun bertemu Salma. Saya lantas mewawancarainya.

“Iya, Bu, tadi Salma yang ngajak. Salma minta beng-bengnya Celline. Terus Salma bilang ke Celline, ‘Celline mau, nggak, beng-bengnya Salma tuker sama uang biar Celline bisa jajan?’ terus Celline mau,” aku Salma.

“O, begitu? terus Salma ngasih uang Celline berapa?” tanya saya.

“Tiga ribu,” jawabnya.

Saya mengangguk dan tersenyum, penuh syukur dan bangga.

“Masyaallah. Terima kasih, Salma. Karena Salma, Celline jadi bisa ikut jajan, lo.”

“Iya, sama-sama, Bu,” sahutnya singkat namun tulus.

Kebaikan Salma terasa manis, melebihi jajanan apa pun yang dijual hari itu. Ia bukan hanya peduli, tapi juga cerdas: menawarkan solusi yang adil dan membahagiakan. Bahkan saya pun tak sempat memikirkannya.

Hari itu, Celline dan Salma mengajarkan saya arti kemurahan hati dalam bentuk paling sederhana dan paling tulus.

Bagikan:

Leave a Reply

Scan the code