Jumat malam (18/04/2025), saya mengirim fail tulisan ke-161 saya. Pagi harinya, Pak Teguh membalas dengan beberapa coretan yang harus saya perbaiki. Saya sadar betul, saya masih berkutat pada kesalahan ejaan, diksi, dan hal-hal teknis lainnya. Meski sudah menyelesaikan 160 tulisan, kesalahan-kesalahan tersebut terus saja terulang. Semoga Pak Teguh selalu dianugerahi kesabaran. He-he.
Satu lagi kemunduran yang saya sadari. Akhir-akhir ini saya sering terlambat mengirimkan tulisan. Bahkan, pekan ini saya berutang tiga tulisan. Tulisan ke-161 seharusnya dikirim pada 5 April. Saya salut pada Pak Adhit yang masih istikamah dan gigih. Istikamah menepati waktu yang disepakati. Gigih bolak-balik revisi tulisan. Semoga saya dapat meneladan beliau.
Faktor utama penyebab kemunduran ini adalah rasa malas saya. Malas belajar dan malas melawan kemalasan. Sebenarnya ada satu lagi. Faktor teknis. Laptop bermasalah. Bersyukur, saya dipinjami gawai oleh Lembaga. Sebuah iPad. Saya belum banyak melakukan eksplorasi terhadap peranti ini. Termasuk aplikasi pengetikan.
Saya terbiasa menggunakan Microsoft Office Word untuk mengetik. Sejak laptop bermasalah, saya memilih menulis secara online. Memanfaatkan Google Doc. Berbekal saran dari Bu Eva, saya mulai berkenalan dengan Pages.
“Bu Wiwik ngirim tulisan barusan, pakai iPad? Atau?” tanya Pak Kambali, Jumat malam. Sekitar sejam setelah saya mengirim tulisan 161 di “Klinik Menulis”.
“Nggih, Pak. Pakai iPad. Alhamdulillah, bisa.”
“Google Doc? Atau?”
“Pages (Word-nya iPad), lalu di-convert ke Word, Pak.”
“Aman? Atau perlu perbaikan?”
“Alhamdulillah, aman, Pak.”
“Ini sebenarnya saya sudah selesai revisi tulisan 161. Namun, dalam hal simbol (Pages) sangat terbatas. Al-‘Âdiyât belum bisa saya ketik di iPad. Eh, ini di HP malah bisa, Pak. Coba saya copas.”
Saat saya mengetik “Al-‘Âdiyât” di telepon seluler, saya kaget. Sebelumnya, berkali-kali saya mencoba di iPad selalu gagal. Saya lantas mencari tutorialnya di Google. Saya praktikkan. Tetap saja gagal. Saya pun mencari transliterasi Q.S. Al-‘Âdiyât. Yang saya temukan: wal-‘âdiyâti dlab-ḫâ. Saya butuh simbol Â. Saya buntu untuk mengkapitalisasi simbol â menjadi  di iPad.
Penemuan ini menyulut semangat menulis saya. Saya segera copy paste ketikan saya di chat HP ke teks revisi saya di Pages. Berhasil. Saya lantas mengonversi fail dari Pages menjadi Word. Segera, saya kirim fail revisi itu ke “Klinik Menulis”.
“Jeda alineanya tampak lebar. Tapi yang lain, rasanya nggak ada masalah, sih,” lanjut Pak Kambali.
“Nggih, Pak. Saya belum menemukan cara untuk menggeser margin awal paragraf, jadi saya enter dua kali.”
Kalimat terakhir dari Pak Kambali itu membuat saya tertantang. “Masa di Pages nggak ada fitur itu, ya?” gumam saya dalam hati.
Saya ketuk ikon Pages satu per satu. Setelan bahasa di iPad saya masih menggunakan Bahasa Indonesia. Saya temukan fitur indentasi. Saya klik. Saya temukan tiga opsi: pertama, kanan, dan kiri. Di depan tiap-tiap opsi terdapat angka (dalam cm) yang bisa dipilih preferensi yang diinginkan.
Saya klik tanda + pada bilah opsi “pertama”. Angka 0 berubah menjadi 0,5. Kursor bergeser ke kanan. Senyum semringah tersungging. Saya klik lagi tanda + hingga 0,5 menjadi 1. Yeay! Berhasil.
Tanpa bermaksud menafikan petunjuk dari Sang Maha Pemberi Petunjuk, saya dituntun untuk menemukan solusi dari masalah yang saya hadapi. Pengalaman ini sangatlah berkesan bagi saya. Rasanya puas, bangga, dan bahagia.
Sejenak, saya merenung. Ini pula yang akan anak-anak rasakan jika mereka menemukan. Menemukan pemahaman akan konsep materi baru dengan cara mereka sendiri. Guru tidak boleh “bermurah hati mengobral ilmu”. Beri kesempatan kepada murid-murid untuk eksplorasi. Karena itulah yang juga saya lakukan. Eksplorasi untuk menemukan.
Untuk merayakan dan mengabadikan keberhasilan itu, lahirlah tulisan ini. Tulisan ke-163. Bonusnya: utang tulisan saya LUNAS. (A2)