Hari pertama masuk sekolah. Senin, 17 Juli 2023. Di jam istirahat. Saya melewati selasar menuju ruangan. Anak-anak bermain di halaman sekolah. Salah seorang di antaranya minum sambil berjalan.

“Mas, sini!” kata saya sambil melambaikan tangan.

Anak itu mendekat. Tanpa menghentikan aktivitas minumnya. Saya belum kenal nama anak itu. Yang pasti, ia kelas 1. Semua anak kelas 2 sudah saya kenali namanya.

“Namanya siapa?”

“Rama,” jawabnya.

“Mas Rama, kalau minum sambil duduk, ya. Nah, duduk di dekat Pak Kambali, sini!”

Rama duduk. Ia lanjutkan minumnya. Ups, ternyata ia minum memakai tangan kiri. Lengkap sudah.

“Mas Rama, kalau minum pakai tangan kanan, ya.”

Rama beralih menggunakan tangan kanan. Saya masih bertahan duduk di sebelah Rama. Sekaligus memastikan minumnya. Saya tunggu hingga ia tuntas minum. Ups, ia berganti tangan kiri lagi. Saya ingatkan lagi. Ia pun beralih tangan kanan. Dan tidak berselang lama, Rama Kembali memakai tangan kiri.

Kejadian itu begitu cepatnya. Saya menjadi jengkel. Hendak marah. Alhamdulillah, saya masih bisa mengendalikan emosi. Jika marah, saya akan lepas kendali. Dampaknya tidak baik. Untuk saya maupun untuk Rama. Saya paksa agar saya tetap tenang. Tidak boleh wajah saya terlihat marah. Setelah itu, Rama saya ingatkan kembali. Ia beralih memakai tangan kanan.

“Mas Rama hebat, minumnya pakai tangan kanan! Makasih, ya.”

Setelah selesai minum, Rama kembali bermain bersama teman-temannya. Saya menuju ruangan. Sembari terus berpikir. Tentang kejadian itu. Terlintas pikiran negatif terhadap anak itu.

Hari kedua masuk sekolah. Saya memergoki Rama lagi. Ia minum di halaman sekolah. Sambil berjalan. Dan pakai tangan kiri. Saya panggil Rama. Saya dudukkan. Saya tuntun untuk memakai tangan kanan. Saya tunggui hingga selesai minum.

Beberapa hari kemudian, saya mendapat penjelasan dari Bu Wiwik dan Bu Eva. Tentang Rama. Penjelasan itu cukup menenangkan pikiran saya. Dan saya hanya bisa bergumam, lā ḥaula walā quwwata illā billāh.
***

Sabtu (09/09/2023) pagi saya bertemu dengan seluruh guru di ruang kelas 1. Acara rutin. Belajar membaca Al-Qur’an. Secara bergiliran, tiap guru berkesempatan membaca Al-Qur’an. Sekaligus menguatkan kecakapan membacanya. Durasinya sekitar 20 hingga 30 menit. Dimulai dari pukul 07.00. Saya memang sedang berikhtiar. Agar setiap guru (termasuk pengabdi nonguru) dapat membaca Al-Qur’an dengan tartil. Sesuai standar di LPI Hidayatullah. Bahkan saya juga berusaha agar setiap guru dapat mengajarkan membaca Al-Qur’an.

Setelah selesai membaca Al-Qur’an, seperti biasa, saya memberi kesempatan salah satu guru untuk berbicara. Tentang apa saja. Pengalamannya, gagasannya, atau apa pun itu. Yang menurutnya layak dibagikan kepada guru lain. Sabtu itu gilliran Bu Eva.

“Silakan, Bu Eva!”

“Maaf, Pak Kambali, perut saya sedang mual. Jadi agak pelan.”

“O, lha gimana? Memungkinkan apa gak? Bila tidak memungkinkan, tidak mengapa. Tidak perlu dipaksakan.”

“Gak pa-pa, Pak. Hanya agak pelan.”

“Baik, silakan, Bu Eva!”

Bu Eva memulai pembicaraan. Beliau menceritakan murid-muridnya, anak-anak kelas 1. Pada pekan pertama, Bu Eva sempat berburuk sangka kepada murid-muridnya, “Akankah anak-anak kelas 1 ini dapat tertib seperti anak-anak kelas 1 sebelumnya?” Beliau sempat pesimistis.

Bukan tanpa alasan Bu Eva pesimistis. Anak-anak kelas 1 saat ini lebih ramai dan lebih aktif dibanding anak-anak kelas 1 sebelumnya. Temuan Bu Eva diiakan pula oleh Bu Wiwik, mitra guru kelas Bu Eva.
Satu pekan berjalan, Bu Eva belum melihat tanda-tanda. Padahal satu pekan tersebut beliau telah berusaha keras. Dan pastinya: capek. Pekan kedua terlalui. Pun demikian, belum tampak tanda-tanda. Demikian pula, pekan ketiga. Selama tiga pekan berturut-turut Bu Eva merasa capek.

Namun, di akhir Agustus 2023 Bu Eva dibuat terkejut. Oleh perilaku murid-muridnya. Anak-anak mulai tertib. Mudah diarahkan. Kepedulian mereka mulai tampak. Kebersihan kelas mulai diperhatikan. Nasihat guru mulai dijalankan. Ada anak yang tadinya belum mau salat Subuh, kini ia sering melapor: sudah salat Subuh. Adab yang diajarkan guru mulai diterapkan. Antaranak sudah mulai saling mengingatkan.

Kondisi ini dibenarkan oleh Bu Shoffa, guru kelas 2. Di akhir Agustus 2023 Bu Shoffa saya beri tugas mengamati kelas 1. Hasilnya, Bu Shoffa sangat kagum dengan ketertiban murid-murid kelas 1. Suasana kelasnya sangat kondusif.

Saya ikut terkejut mendengar cerita Bu Eva. Terutama di bagian ini: Rama sekarang kalau minum sudah sesuai adab. Minum sambil duduk. Memakai tangan kanan.

Bu Eva menyesal telah berburuk sangka kepada murid-muridnya. Saya juga merasa keliru, telah berpikir negatif tentang Rama. Di hari pertama sekolah. Kenyataannya: sayalah yang kurang sabar. Anak-anak butuh proses dalam belajar. Dari tidak tahu menjadi tahu. Dari tidak biasa menjadi biasa. Dari tidak tertib menjadi tertib. Dan selama anak berproses, sudah semestinya guru perlu bersabar.

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *