Fathir (berkemeja biru) sedang melaksanakan salat duha sesaat setelah mimisan.

Beberapa menit sebelum bel istirahat, pelajaran telah usai. Anak-anak dipersilakan makan bekal mereka terlebih dahulu. Hingga saat bel istirahat berbunyi, anak-anak baru diperbolehkan bermain di luar.

Belum juga lima menit anak-anak bermain di luar, seorang anak berteriak dari ambang pintu kelas, “Bu Guru, hidung Fathir berdarah.”

Deg. Bu Wiwik khawatir, tetapi tetap berusaha tenang. Bu Eva yang duduk di sebelah pintu segera menghampiri Fathir. Bu Wiwik hanya melihat dari ambang pintu kelas. Ia ingin memastikan kondisi Fathir.

Terlihat darah mengucur dari hidung Fathir. Cukup deras. Kedua tangan Fathir ditangkupkan di bawah hidung. Separuhnya terisi genangan darah. Bu Wiwik hanya melihat sekilas. Ia lantas kembali ke tempat duduknya. Ia menyadari kelemahannya: fobia darah.

Beberapa saat kemudian, Fathir masuk kelas. Diikuti Bu Eva.

“Mas Fathir pusing? Atau mau istirahat dulu di UKS?” tanya Bu Wiwik.

Fathir menggeleng.

“Kalau gitu, Mas Fathir minum dulu, ya. Bekalnya dihabiskan.”

Fathir menuju kursinya. Bu Wiwik terus mengamati muridnya itu. Beberapa waktu kemudian, Fathir sudah terlihat bercanda dengan teman-temannya.

“Alhamdulillah. Lega,” senandika Bu Wiwik.

Bel berbunyi. Waktu istirahat pertama berakhir. Anak-anak bersiap salat Duha. Bu Wiwik mengambil foto Fathir saat salat Duha. Ia kemudian mengirimkannya kepada ibunda Fathir disertai takarir permohonan maaf.

Fathir (berkemeja biru) sedang melaksanakan salat Duha sesaat setelah mimisan.

Bu Wiwik kemudian menjelaskan kronologi singkat kejadian tadi.

“Tadi saat istirahat hidung Mas Fathir berdarah karena tidak sengaja terkena ban saat bermain dengan temannya. ”

Di menit yang sama, bunda Fathir membalas pesan Bu Wiwik, “Ya, Ustadzah. Tidak mengapa. Saya udah bilang sama Fathir untuk berhati-hati dalam bermain. Selaput hidung Fathir sangat tipis, menurut dokter, jadi ketika (terjadi) benturan akan mudah sekali mimisan, Ustadzah. Minta tolong di-treatment seperti mimisan aja ya, Ustadzah untuk menghentikan pendarahannya. Jazakillah Khoir.”

Bak desiran angin pantai, jawaban bunda Fathir itu sangat melegakan hati Bu Wiwik. Lega selega-leganya. Bagaimana tidak? Sejak saat kejadian hingga sesaat sebelum menerima balasan chat itu, Bu Wiwik masih diliputi rasa takut. Kucuran darah sebanyak itu ia anggap sebagai hal yang sangat mengkhawatirkan. Namun, demi melihat kondisi Fathir dan jawaban dari sang bunda, patutlah Bu Wiwik berlega hati.

Di hari lain, kejadian serupa terulang lagi. Kali ini, Bu Eva sedang bertugas di kelas 2. Mau tidak mau Bu Wiwik harus turun tangan sendiri. Berbekal pengetahuan dari bunda Fathir, Bu Wiwik bisa bersikap lebih tenang. Meski harus bergolak dan melawan fobianya, bersyukur, semua masalah teratasi dengan baik.

Begitulah. Informasi khusus terkait anak dari orang tua sangatlah bermanfaat bagi guru. Guru dapat segera menentukan dan melakukan tindakan yang pas untuk anak dalam menangani suatu kejadian. Tidak lagi menduga-duga. Informasi itu bisa menjadi semacam shortcut sehingga tindakannya straight to the point. 

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *