“Teman-Teman, tadi pagi sebelum bel, Mbak Aqilaa sudah melakukan banyak kebaikan. Di antaranya, Mbak Aqilaa membantu mengelap dan menata piring di rak. Setelah itu, Mbak Aqilaa juga membaca beberapa buku. Tidak hanya hari ini, Mbak Aqilaa juga sering membantu Bu Guru dan Teman-Teman di kelas. Atas kebaikannya, Mbak Aqilaa akan mendapat bintang,” jelas saya mengawali pelajaran setelah BAQ.
“Ternyata bukan hanya Mbak Aqilaa yang akan mendapat bintang hari ini.”
Saya berjalan ke sisi barat tembok kelas. Pandangan mata anak-anak pun mengikuti ke arah saya berjalan.
“Anak dengan nomor presensi 12 dan 9 juga akan mendapatkan bintang,” lanjut saya sembari menunjuk “Pohon Ilmu” milik Elqeil dan Azka.
Baca juga: Sebelas Helai
Saya kembali ke meja kerja saya dan mengambilkan tiga stiker bintang untuk para penerimanya.
“Teman-Teman, kebaikan yang dilakukan Mbak Aqilaa, Mas Elqeil, dan Mas Azka tidak hanya sekali dilakukan. Mereka melakukan kebaikan-kebaikan itu berkali-kali,” jelas saya dengan memberikan penekanan pada kata terakhir. “Itulah yang dinamakan istikamah.”
Seperti halnya Aqilaa, Elqeil dan Azka berupaya untuk konsisten dengan kebaikan masing-masing. Entah berapa helai daun yang sudah tertempel di “Pohon Ilmu” mereka. Yang nyata terlihat adalah ranting-ranting yang mulanya gersang, kini telah rimbun dipenuhi daun. Banyaknya daun yang tertempel itu sebanding dengan jumlah buku yang telah mereka baca.
Sebenarnya, selain ketiga anak tersebut, ada beberapa kandidat lain yang layak mendapat bintang. Namun, saya dan Bu Eva masih perlu menguji kelaikan mereka dalam merawat konsistensinya. Salah satu dari para kandidat itu adalah Kirana. Beberapa kali Kirana terlihat turut menata alas makan dan piring.
Pagi ini, Jumat (20/09/2024), saya tiba di sekolah setelah Azka. Setelah menyalakan AC, saya bergegas menuju musala. Belum sampai keluar pintu kelas, saya kembali menuju meja kerja saya. Saya buka lemari, lalu saya ambil sehelai lap. Lap tersebut diperuntukkan khusus untuk mengelap piring. Untuk menjaga kebersihannya, saya sengaja menyimpannya di lemari setelah dikeringkan.
Lap berwana abu-abu toska itu saya letakkan di atas piring yang masih tengkurap di dalam keranjang. Ada sebuah ide tebersit di benak saya. Idealnya, piring-piring tersebut dilap dan ditata di dalam rak piring. Saya pun melanjutkan aktivitas pagi di musala. Sekembalinya saya di kelas, murid-murid sudah mulai berdatangan. Satu per satu murid yang datang menyalami Bu Eva dan saya.
“Bu Eva, itu piringnya boleh ditata, enggak?” tanya seorang anak.
Mendengar itu, dalam hati, saya bersorak girang.
“Alhamdulillah, umpannya kena,” batin saya.
Ya, lap abu-abu toska itu sengaja saya taruh di atas piring sebagai umpan bagi anak yang peka. Kirana-lah yang menangkap umpan saya. Setelah mendapat izin dari Bu Eva, Kirana mengelap satu demi satu piring yang ada di keranjang. Ia lantas menatanya ke dalam rak.
Melihat Kirana, Mutiara dan Aqilaa tergerak hatinya. Keduanya turut membantu Kirana hingga semua piring berjajar rapi di dalam rak. Aksi baik ketiga anak tersebut sungguh membanggakan. Terlebih, ketiganya melakukannya dengan senang dan tanpa pamrih. Beberapa kali mereka terpantau bercanda saat itu. Setelah selesai pun, ketiganya tak lantas melapor kepada kami untuk menunjukkan kebaikan mereka.
Bibit-bibit kebaikan semacam ini perlu dikembangkan menjadi kebiasaan. Kebiasaan butuh konsistensi. Membangun konsistensi tidaklah mudah. Butuh proses dan kesabaran. Semoga Kirana dan teman-temannya dimampukan dan disabarkan menjalani proses itu. Dan semoga kami—para guru—dapat menjadi teladan bagi murid-murid kami. Karena sejatinya, pendidikan yang efektif adalah yang diteladankan. (A2)