Jarum panjang penunjuk menit telah bergeser ke angka 4. Sementara jarum pendeknya seakan bergeming di antara angka 2 dan 3. Riuh keramaian kelas kini berubah senyap. Hanya sesekali terdengar suara bising mesin pemotong besi. Ada tiga orang tukang yang tengah sibuk memasang tiang-tiang besi di lapangan depan sekolah.

“Sebentar lagi anak-anak bisa bermain dengan lebih nyaman,” batin Bu Wiwik.

Di tempat itu terdapat beberapa mainan outdoor. Salah satu tempat favorit anak-anak untuk menghabiskan waktu jeda. Sayang, belum ada pohon rindang yang dapat menaungi mereka dari teriknya siang. Alhamdulillah, pekan lalu ada kabar kalau akan dibuatkan peneduh. Beberapa kali anak-anak sudah minta izin untuk bermain di sana, namun belum terkabul. Semoga Senin sudah selesai dikerjakan.

Bu Wiwik mengamati sekeliling kelas. Satu hal mengganggu pikirannya. Hampir sebulan membersamai murid-muridnya, Bu Wiwik belum berhasil memancing minat mereka untuk gemar membaca. Beberapa upaya telah dilakukan. Menempel tulisan-tulisan informatif di kelas dan membacakannya di hadapan murid-murid. Kesepakatan kelas juga tak ketinggalan ditempel di salah satu sudut kelas. Jika perlu dikuatkan, Bu Wiwik akan membacakannya kembali dengan cara menunjuk kesepakatan yang dimaksud. Di sudut baca juga tersedia buku-buku yang dapat dimanfaatkan. Semua upaya tersebut belum membuahkan hasil yang diharapkan. Kegundahan ini pernah disampaikan pula kepada Pak Kambali.

“Saya pernah memperlihatkan kepada anak-anak: saya mengambil buku cerita dari reading corner, lalu membacakan ceritanya. Anak-anak tertarik pada ceritanya. Mereka menyimak dengan saksama, namun belum tertarik membaca sendiri buku-buku di sana,” kata Bu Wiwik sambil menunjuk sudut baca.

“Menurut saya, penyebab utamanya adalah karena anak-anak belum lancar atau bahkan belum bisa membaca, sehingga mereka menyerah duluan,” lanjut Bu Wiwik.

Tapi, dulu Langit pernah mengomentari kesepakatan kelas yang menurutnya belum ditulis dan perlu ditambahkan, kan?” Pak Kambali merespons.

“Iya, sih, Pak. Tapi menurut saya itu belum cukup.”

Perbincangan berlanjut hingga berakhir pada satu upaya lain.

“Besok saya coba menunjuk salah satu anak yang sudah lancar membaca untuk membacakan cerita kepada teman-temannya. Harapannya, hal itu dapat memancing anak-anak untuk tertarik membaca buku,” ucap Bu Wiwik.

***

Angan-angan kembali membuncah di keheningan malam. Tetiba, Bu Wiwik teringat akan satu hal.

“O, ya! Saya kan punya “Pohon Ilmu”. Tidak ada salahnya jika dicoba.”

Segera Bu Wiwik membuka laptop. Mencari fail “Pohon Ilmu”, lalu mengirimkannya via Microsoft OneDrive yang terhubung secara online dengan komputer Sekolah.

Done! Besok tinggal cetak,” batin Bu Wiwik.

***

Sepuluh lembar kertas F4 bekas disiapkan. Sisi yang masih kosong dimanfaatkan untuk mencetak gambar pohon gersang. Rantingnya banyak, namun tak berdaun. Tiap lembar kertas berisi tiga gambar pohon. Hitam putih warnanya. Di bawah pohon tertulis angka 1—28. Penunjuk nomor presensi siswa. Kesepuluh lembar kertas tersebut ditempel di salah satu sisi loker siswa. Lima belas pohon di loker barat, sisanya di loker timur.

“Anak-anak, Bu Wiwik akan bercerita sambil menggambar,” ucap Bu Wiwik berusaha menarik perhatian siswa-siswanya.

“Kira-kira ini gambar apa ya?”

“Pohooon!” seru para siswa.

“Maaf, kalau bicara di dalam kelas paling keras level …?”

“Duaaa,” jawab para siswa dengan suara tak sekeras sebelumnya.

“Oke, terima kasih. Bu Wiwik lanjutkan ceritanya, ya.”

“Di kelas 1 SDIH 02, terdapat 28 batang pohon yang gersang. Setiap pohon memiliki nomor masing-masing. Ada nomor 1—28. Pohon-pohon gersang ini akan tumbuh subur jika si empunya pohon rajin membaca buku. Bu Guru akan menghadiahkan sehelai daun jika pemilik pohon telah selesai membaca satu buku. Jika membaca 10 buku, kalian akan mendapatkan 10 helai daun. Daaan seterusnya. Semakin banyak buku yang dibaca, semakin subur pohon yang dipunya. Pohon ini dinamakan “Pohon Ilmu”,” jelas Bu Wiwik sambil menggambar beberapa helai daun di ranting pohon.

“Membaca bukunya boleh di rumah atau di kelas di sela-sela pelajaran. Misalnya, sambil menunggu teman-teman yang belum selesai mengerjakan tugas, anak-anak bisa membaca buku di reading corner. Saat istirahat juga boleh.”

“Ini pertaruhan. Bagaimana reaksi anak-anak ini?” batin Bu Wiwik.

“Bu Wiwik, aku belum bisa membaca. Lalu bagaimana bisa mendapat daun?” tanya Sultan.

“Mas Sultan bisa minta tolong Kakak, Mommy, Daddy, atau Mbak untuk menemani Mas Sultan membaca.”

Si penanya manggut-manggut.

Pertanyaan yang sama kembali terlontar dari Haqqi. Dijawab pula dengan jawaban yang serupa.

“Bu Wiwik, Bu Wiwik! Aku suka membaca komik horor!” seru Langit.

“Kalau aku suka membaca buku cerita,” celoteh beberapa anak.

Suasana kelas kembali riuh. Bu Wiwik meredakannya dengan “Tepuk Ikan”.

“Tentang pohon ilmu, adakah yang ingin bertanya lagi?”

Hening.

“Jika ada waktu, Bu Wiwik dan Bu Afiifah akan menunjuk satu anak untuk maju ke depan kelas dan menceritakan buku yang telah dibaca. Atau saat akan memberikan daun, Bu Guru akan menanyakan tentang judul dan isi ceritanya.”

“Pohon ilmunya mulai kapan, Bu Wiwik?” tanya salah seorang anak.

“Mulai hari ini,” jawab Bu Wiwik mantap. “Dua menit lagi bel istirahat. Sekarang anak-anak boleh istirahat. Boleh makan, minum, bermain, atau membaca buku.”

“Yeayy! Aku mau baca buku,” seru beberapa anak.

Alhamdulillah. Akhirnya buku-buku itu terjamah.

Beberapa menit berselang, terlihat beberapa anak mengerumuni Bu Afiifah di meja guru. Mereka hendak melaporkan pencapaiannya telah menamatkan membaca buku. Bu Afiifah menanyai mereka tentang judul buku dan isi ceritanya.

***

Mengawali jadwal pelajaran terakhir siang ini, Bu Wiwik menunjuk salah satu siswa yang tadi telah selesai membaca buku di sela-sela pelajaran. Adia namanya. Ia telah lancar membaca, bahkan intonasinya pun tepat.

“Masyaallah, Mbak Adia ini hebat, ya, Teman-Teman, membacanya sudah lancar sekali. Pasti Mbak Adia sudah membaca banyak buku cerita, ya?”

“Iya, Bu,” jawab Adia malu-malu.

“Oke, Mba Adia berhak mendapatkan satu helai daun. Silakan bisa meminta kepada Bu Afiifah.”

***

Fillio (duduk di karpet) dan Haqqi (duduk di kursi) membaca buku cerita saat jam istirahat

Bersyukur, hari pertama “Pohon Ilmu” launching, sebelas helai daun tumbuh di delapan pohon yang semula gersang itu. Semoga semua pohon itu segera rindang. Dan semoga rindangnya delapan pohon itu berbanding lurus dengan motivasi intrinsik bahwa membaca itu asyik. Kian hari, kian banyak lagi pohon rindang di sisi loker itu. Amin. (A2)

Bagikan:
2 thoughts on “Sebelas Helai”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *