“Bu, saya sudah selesai piketnya,” lapor Itaf kepada saya.

Selasa, 14 Januari 2025, Itaf datang lebih awal. Setelah membereskan tas dan menata bukunya di laci, ia segera turun ke lantai 1. Tidak lama kemudian, ia menghampiri saya dan melaporkan kegiatan yang baru saja dikerjakan.

“Ini piket untuk mengganti yang kemain?” tanya saya.

“Iya, Bu. Ini saya baru selesai nyiram tanaman,” jawabnya.

Wih, keren! Terima kasih, Taf,” puji saya. “Tapi, lain kali, selesaikan dulu piketnya, baru kemudian boleh main lagi. Ya?”

“Iya, Bu.”

Semua anak kelas 3 mendapat tugas piket menyiram tanaman secara bergilir. Regu piket terdiri dari lima sampai dengan enam anak per hari. Tugas ini sudah mereka jalani sejak di gedung lama. Di sana tanamannya pucuk merah dan pohon cabai, sedangkan di gedung baru ditanam bunga asoka dan bunga mondokaki.

Tanpa mengerahkan anak-anak, sebenarnya kelangsungan hidup tanam-tanaman itu tidak mengkhawatirkan. Di sekolah ada tenaga perawat kebersihan (cleaning service). Jumlah dan waktu mereka cukup untuk disampiri tugas tambahan merawat tanaman. Akan tetapi, sasaran penyiraman tanaman itu bukan semata-mata tanamannya. Sasaran utamanya justru anak-anak, si penyiram tanaman itu sendiri. Melalui piket menyiram tanaman, Sekolah bermaksud menyirami jiwa anak-anak.

Interaksinya dengan tanaman akan menumbuhkan empati anak-anak. Mereka turut merasakan penderitaan yang dialami tanaman ketika kekurangan air. Mereka turut bersedih ketika menyaksikan tanaman layu. Dari empati, tumbuhlah rasa peduli. Jiwa anak-anak terpanggil untuk menyelamatkan tanaman yang telanjur layu dan mencegah agar tidak ada lagi tanaman yang mengalami nasib serupa.

Piket menyiram tanaman juga punya efek samping. Pada hari piketnya, anak-anak suka datang lebih awal. Untuk bisa datang ke Sekolah lebih awal, tentu mereka juga harus berangkat dari rumah lebih awal. Untuk bisa berangkat lebih awal, pasti mereka juga harus bangun lebih awal. Sebelum dicanangkan oleh Pak Menteri sebagai salah satu kebiasaan anak Indonesia hebat, bangun pagi sudah menjadi kebiasaan anak-anak SD Islam Hidayatullah 02.

Piket menyiram tanaman juga memupuk jiwa bertanggung jawab. Seperti yang ditunjukkan Itaf itu contohnya. Sehari sebelumnya Itaf lupa kalau terjadwalkan piket. Setelah jam kepulangan, ia baru ingat.

“Bu, enaknya saya piket sekarang atau diganti besok aja, ya?” tanyanya, minta pertimbangan saya.

“Kalau menurut Bu Puput, sih, baiknya sekarang,” jawab saya.

“Tapi, saya mau main dulu sebelum dijemput.”

“Kan, mainnya bisa nanti, setelah piket.”

Keburu dijemput, gimana?”

“Ya, berarti mainnya besok lagi aja.”

“Enggak, ah, Bu. Saya piketya diganti besok aja,” putusnya, lalu lari menuju lapangan.

Ya, hari itu Itaf kalah dengan egonya sendiri. Ia memilih untuk bermain dan menunda pelunasan utang kewajibannya. Namun, keesokannya ia membayar tunai janjinya: mengganti tugas piket yang terlewat sehari sebelumnya.

Saya tidak menagih. Saya belum mengingatkan Itaf tentang kewajibannya yang terutang. Atas inisiatifnya sendiri, ia melunasi utang itu. Dan ia bertanggung jawab dengan pilihannya.  untuk itu, Itaf harus datang ke Sekolah lebih pagi, berangkat dari rumah lebih pagi, dan bangun pagi lebih pagi.

Untung, saya tidak memaksa Itaf untuk seketika melunasi tugas piketnya begitu ingat dan melapor pada Senin (13/01/2025) siang itu. Seandainya saya memaksanya siang hari itu, tentu pagi hari berikutnya saya tidak bisa menjadi saksi keamanahan Itaf dalam menepati janjinya.

Saya jadi ragu, jangan-jangan Senin itu Itaf tidak benar-benar kebelet bermain. Boleh jadi ia hanya hendak menguji gurunya: bisa memberikan kepercayaan kepada muridnya atau tidak. Dari Itaf saya belajar–lebih tepatnya, saya diajari oleh Itaf: adakalanya anak-anak perlu diberi kesempatan untuk membuktikan tanggung jawabnya. Ya, sekalipun sikap amanah itu tersembunyi di balik keberanian untuk mengambil keputusan yang sekilas berkesan membangkang.

Bagikan:

Leave a Reply

Scan the code