Layla Safrina

Diskusi Sabtu (21/10/2023) diawali dengan mengupas kembali tulisan Pak Teguh yang berjudul “Guru: Apa Profesinya?” Tulisan ini makin menguatkan paradigma saya dalam melanjutkan diskusi pagi itu. Beliau pulalah yang membuka sharing pagi itu. Selain beliau, peserta diskusi terdiri dari Kepala Sekolah dan semua guru SD Islam Hidayatullah 02. Diskusi kali ini sangatlah hangat. Tidak tegang. Sehingga nyaman bagi siapa saja yang hendak bertanya.

Pak Teguh melanjutkan dengan menayangkan tulisan beliau yang berjudul “Bersahabat dengan Anak ADHD” di layar proyektor. Tulisan tersebut sebelumnya sudah dibagikan di grup WhatsApp Sekolah. Sehingga semua peserta diskusi sudah membaca, bahkan sampai tingkat pemahaman. Mungkin hanya saya yang baru sekadar membaca. Belum mencapai titik pemahaman yang diharapkan. Tapi, hal ini membuat level kepo saya meningkat. Bisa jadi interpretasi saya dan penulis berbeda. Maka, tepat sekali jika diskusi ini diadakan.

Dalam pemaparan itu, Pak Teguh secara lugas menjelaskan dari beberapa sudut pandang. Baik dari psikiatri, pediatri, hingga mengupayakan reframing kita sebagai guru terhadap pengidap ADHD. Semacam itu yang jelas saya sepakat. Integrasi-interkoneksi ilmu yang membuat paradigma kita makin kuat.

Yups. Hal yang wajar terjadi di sekolah mana pun, anak-anak memiliki berbagai karakteristik dan keunikan masing-masing. Termasuk di sekolah kami, beberapa anak terdeteksi mengalami gangguan sosial-emosi.

Pak Teguh menegaskan kepada kami bahwa guru tidak diperkenankan untuk mendiagnosis siswa yang “spesial” tersebut. Bahkan diharapkan tidak merekomendasikan kepada orang tua siswa untuk mengambil tindakan selanjutnya. Yang boleh dilakukan guru hanya sebatas menggiring opini agar anak mendapatkan penanganan yang relevan.

Sebut saja A, B, dan C. Ketiga anak tersebut sudah masuk dalam radar pengamatan Pak Teguh di kelasnya masing-masing. Baik ketika berlangsung KBM maupun pembiasaan yang melibatkan interaksi dengan teman-temannya.

A menjadi objek pengamatan Pak Teguh yang pertama. A sangatlah istimewa. Dia anak yang detail. Motorik halusnya sangat terlatih. Terbukti hasil tulisan tangannya sangat rapi. Saya, sebagai guru, ketika membaca tulisan tangannya sangat senang. Meski guru selalu memberikan stimulan dalam KBM maupun di luar KBM dan beberapa kali A gagal menangkapnya, dia terlihat tidak putus asa.

Dia juga sedang menjalani terapi oleh pihak yang kompeten. Pihak sekolah merasa terbantu atas upaya orang tua A. Namun, pihak orang tua sepertinya membutuhkan informasi yang lebih lengkap demi penanganan yang lebih tepat dalam proses terapi A.

Diskusi makin hangat karena terjadi komunikasi aktif. Satu guru dengan guru lain saling berdiskusi dan dikuatkan oleh Pak Teguh tentang penanganan anak-anak “spesial” tersebut.

Kemudian Bu Amik menyampaikan keunikan B kepada Pak Teguh. Sebenarnya B juga sudah pernah diamati oleh Pak Teguh dalam kegiatan-kegiatan tertentu. Cerdas di usianya, cakap bicaranya, serta sangat kentara keluasan pengetahuannya. Ulah B di kelas yang berkesan usil dan mengganggu. Namun, siswa yang lain sangat memahami dan bahkan tidak membalasnya. Mereka tidak menggubris perilaku B yang aneh-aneh. Siswa-siswa yang lain tetap melanjutkan KBM di kelas seperti biasa.

Akan tetapi, akhir-akhir ini B mengganggu kenyamanan siswa yang lain. Sehingga dibutuhkan tindak lanjut yang serius. Namun, pada B tidak “tercium” indikasi mengidap ADHD. Meski guru tidak diperkenankan mendiagnosis, pengamatan demi pengamatan oleh banyak pasang mata mengantarkan pada dugaan awal seperti itu. Ternyata dugaan awal itu diamini oleh Pak Teguh. Iya, B diduga mengalami masalah internal saja.

Lalu, bagaimana dengan C? Unik, cerdas, dan pandai. Bagaimana tidak? Saraf sensorisnya sangat responsif. Meski saraf motoriknya bergejolak bagai anak yang melewati papan luncuran berpuluh-puluh kelok menuju kolam renang, dia tetap mampu menjawab apa yang ditanyakan oleh gurunya.

Wow … makhluk ciptaan Allah yang luar biasa. Allah tidak mungkin menciptakan makhluk-Nya sebagai produk gagal. Bukan pula produk uji coba. Seperti produk manusia di luaran sana. Betapa tidak menambah keyakinan kita terhadap Sang Khalik atas kuasa-Nya.

Lagi-lagi, teman-temannya di kelas sangat permisif terhadap “ulah” C. Tidak ada sedikit pun pembalasan atas “keusilan” C. Yang membuat saya kagum, bagaimana guru-guru di kelasnya menguatkan kedua pihak, baik C maupun teman-temannya, dalam kondisi seperti itu.

Seperti halnya A, si C pun sedang menjalani terapi di sebuah lembaga yang berkompeten. Sekolah, lagi-lagi, berupaya menyamakan paradigma dengan orang tuanya dan pihak terapis. Guru hanya sebatas menggiring opini, begitu yang ditekankan Pak Teguh. Pastinya, opini layak disampaikan jika guru sudah memiliki data yang relevan, akurat, dan memadai.

Diskusi belum berakhir. Sayangnya, saya dan beberapa guru lain harus meninggalkan forum. Ada agenda dalam rangkaian penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang menuntut kehadiran kami. Meskipun sebentar, setidaknya saya telah ngangsu kawruh dari diskusi pagi itu. Seru, senang dengan terbukanya paradigma yang kaku menjadi lunak. Bengkok menjadi lurus. Gelap menjadi terang.

Patut disyukuri, Allah telah mengirim siswa-siswi dengan beragam keunikan sebagai perantara belajar bagi kami. Begitulah cara cantik Allah dalam memahamkan makhluk-Nya.

Bagikan:

By Admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *