Kali ini anak-anak kelas 1 ditugaskan menjadi Player Escort di SMA Islam Hidayatullah. Awalnya dibutuhkan 20 anak putra. Tetapi kelas 1 hanya ada 18 anak putra. Itu pun tidak semuanya berangkat ke sekolah. Akhirnya kami menyiasati dengan diganti anak putri. Lalu kami komunikasikan dengan panitia. Alhamdulillah, diperkenankan. Bahkan, Panitia meminta tak hanya 20 anak, tetapi berubah menjadi 24. Bisa putra, putri, atau gabungan. Hingga akhirnya saat itu ada 15 putra dan 9 putri yang bertugas. Sementara itu, 4 anak putri yang belum bertugas menjadi penonton. Mereka luar biasa! Meski belum terpilih, mereka tetap tersenyum dan tampak legawa.
Saat waktu menuju lapangan makin dekat, anak-anak mulai terlihat tegang. Mereka berbaris dengan rapi di samping kakak SMA, menunggu aba-aba untuk berjalan bersama para kakak kelas dari SMA. Saya memperhatikan raut wajah mereka satu per satu, beberapa tampak antusias, malu-malu, beberapa lainnya terlihat gugup.
“Bu, saya deg-degan, lo, Bu,” ucap Aqilaa
“Iya, saya juga, Bu,” sahut Salma.
“Deg-degan kenapa?” tanya saya penasaran.
“Soalnya gandengan sama kakak kelas cowok,” bisik Aqilaa.
“Bu, emang boleh gandengan?” tanya Salma.
Saya tersenyum mendengar kepolosan mereka.
“Kan, kata Bu Eva, nggak boleh pegangan cowok sama cewek,” timpal Kirana, yang sedari tadi menyimak pembicaraan teman-temannya.
“Iya, betul. Tapi kalau ini, kakaknya sudah dewasa, sedangkan anak-anak masih kecil. Jadi, gak apa-apa,” jelas saya.
Anak-anak di kelas ini sudah mulai memahami bahwa ada batasan dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan. Mereka diajari menjaga adab dan menghormati aturan yang berlaku, termasuk tidak sembarangan bersentuhan dengan lawan jenis. Maka, ketika mereka tahu bahwa mereka harus berjalan beriringan dengan kakak kelas lawan jenis, muncul kegelisahan di wajah mereka. Ada yang merasa malu, ada yang tampak ragu-ragu, dan ada pula yang langsung memastikan kepada gurunya.
Meski begitu, mereka tetap berusaha menjalankan tugasnya dengan baik. Mereka paham bahwa dalam beberapa situasi, ada hal-hal yang diperbolehkan selama tetap dalam koridor yang benar. Maka, meskipun awalnya canggung, perlahan mereka mulai tenang. Beberapa anak tetap menjaga jarak tanpa harus menggenggam tangan kakak kelasnya, sementara yang lain mengikuti dengan tetap menjaga sikap.
Saya tersenyum. Momen sederhana ini mungkin akan menjadi kenangan yang berharga bagi mereka. Hari ini mereka belajar tentang keberanian, kebersamaan, dan legawa. Sebuah pelajaran kecil yang akan mereka bawa dalam perjalanan panjang kehidupan mereka.