Saya masuk kelas. Kaget sekaligus kagum. Terdapat dua lembar anyaman berukuran F4 di atas meja saya. Anyaman itu berpola diamond, kata anak-anak.
“Bu Yunita, besok saya ada janji dengan calon wali murid. Jam 07.30 sampai selesai. Jika saat jam SB—Seni Budaya—saya belum ke kelas, titip anak-anak, njih, Bu. Diisi menganyam saja,” terang saya, sesaat sebelum Bu Yunita pulang.
“Njih, Bu Wiwik, siap,” jawab Bu Yunita.
“Kalau menganyamnya belum selesai, bisa dilanjutkan di jam berikutnya, Bu,” lanjut saya.
Bu Yunita mengiakan.
Pelajaran SB terjadwal mulai pukul 08.15. Saya masih di ruang Kepala Sekolah. Bersama Pak Kambali dan Bu Cita. Perbincangan masih berlangsung seru. Sejak awal pertemuan, saya telah menyiapkan diri akan melewatkan jadwal SB. Meski siap, terselip rasa ingin tahu juga bagaimana jari-jari kecil itu menyelesaikan tantangan yang diberikan.
Setelah Bu Cita pamit, perbincangan berlanjut. Urusan Sekolah. Hingga sekitar pukul 10. Saya pamit ke Pak Kambali. Menuju kelas. Setiba di kelas, saya mengalami dan mendapati apa yang saya tuliskan di awal cerita ini.
Dua lembar anyaman yang terkumpul di meja saya adalah milik Keenan dan Gibran. Saya amati keduanya. Rapi dan polanya tepat. Saya sempat penasaran, bagaimana cara Bu Yunita menjelaskan dan memahamkan kepada anak-anak. Di papan tulis tertera tiga baris deretan angka berpola. Oh, mungkin ini salah satu strategi yang beliau gunakan.
Tiga hari sebelumnya, saya juga melewatkan mapel SB. Ada tugas ke luar sekolah. Saat itu, saya berpesan kepada Bu Yunita untuk memutarkan beberapa video tutorial menganyam. Salah satu tautannya sudah saya sertakan di jurnal mengajar. Jurnal ini wajib diisi oleh setiap guru sebelum mengajar. Sederhana, namun bermakna. Setidaknya selama sepekan ke depan, kami—para guru—telah memiliki rencana mengajar yang hendak dilaksanakan.
“Bu Wiwik, tadi anak-anak sepakat mau menganyam yang pola diamond. Menurut mereka, itu yang paling mudah,” tutur Bu Yunita, sepulang saya dari dinas luar.
Saya pun menyetujuinya. Selain tautan yang saya sertakan, Bu Yunita juga memutarkan beberapa video tutorial lain. Sebenarnya, saya sempat tergoda untuk menggunakan pola yang lebih sederhana. 2-2-2-2-2, misalnya. Saya pun sempat mengutarakan opsi lain ke Bu Yunita: bagaimana jika kertas menganyamnya dipotong menjadi 2. Ah, belum apa-apa, kok, saya sudah berburuk sangka. Kedua godaan itu saya tepis. Itulah sebabnya, saya sangat penasaran dengan proses anak-anak melaluinya.
Bersyukur, saat saya tiba di kelas, sebagian besar murid masih asyik dengan karya masing-masing. Keenan dan Gibran, yang sudah menyelesaikan tugasnya, menerima mandat baru: menjadi “Pak Guru”. Mengajari teman-temannya yang butuh bantuan. Selain keduanya, rupanya sebagian besar anak-anak juga telah memahami bagaimana cara menentukan pola anyaman mereka. Sebelum melanjutkan ke baris berikutnya, anak-anak membaca pola angka yang dituliskan Bu Yunita di papan tulis. Menggemaskan sekali wajah-wajah serius mereka.
Baca juga: Pak Guru-Pak Guru Kecil
“Ini susah, tapi seru!” celetuk Aya.
Tak hanya Aya yang merasa demikian. Semua murid tampak antusias. Terlihat dari kegigihan mereka. Baris demi baris mereka tekuni. Ada pula yang kadang melewatkan satu atau dua kolom. Saat hal itu terjadi, mereka bisa mengidentifikasinya dengan tepat. Begitu ada yang janggal, mereka otomatis menyadarinya. Meski harus mengulang, tak menyurutkan semangat anak-anak.
Fathir, Rafa, Alisha, Elora, dan Aya menyusul keberhasilan Keenan dan Gibran. Bertambah lagi mentor yang membantu saya dan Bu Yunita. Para mentor cilik itu tak segan berbagi trik jitu yang telah mereka kuasai.
Tak cukup hanya dua jam pelajaran. Anak-anak tetap tekun mengerjakan anyaman mereka meski butuh waktu hingga berjam-jam. Memang tidak sepenuhnya sempurna. Ada tiga anak yang masih kebingungan menerapkan pola yang disepakati. Mendapati mereka telah berupaya berkali-kali dan gagal, kami pun menawarkan beberapa opsi. Ada yang menganyam sesuai kemampuan dan kemauannya. Ada pula yang mengikuti solusi yang kami tawarkan: pola yang lebih mudah.
Proses panjang yang anak-anak lalui, memberikan pelajaran berharga bagi saya. Dari yang awalnya saya suuzan, akhirnya saya sadar bahwa ternyata anak-anak melampaui ekspektasi saya. Serasa disentil, “Bu, jangan suuzan dulu sama kami.” Saat anak-anak menentukan pilihan anyaman yang akan dibuat, mereka belajar mengukur diri dan ternyata takarannya pas. Tidak seperti saya yang underestimate hingga akhirnya terjerumus dalam prasangka.
Ketika anak-anak menjadi mentor untuk teman-temannya, bisakah saya menirunya? Mengajari tanpa menyinggung. Membimbing dengan bahasa yang komunikatif. Dan yang paling berat: meneladani kita semua kesabaran. Meski cilik, anak-anak itu adalah mentor yang andal. Kembali saya sadar, sejatinya, bukanlah saya yang guru. Merekalah guru-guru besar saya. (A2)