Kepala Kantor Kemenag Kota Semarang memimpin doa setelah peletakan batu pertama pembangunan gedung SD Islam Hidayatullah 02

Rangkaian acara peletakan batu pertama pembangunan gedung SD Islam Hidayatullah 02 berakhir. Setelah menutup acara, Bu Layla dan Bu Lilis—selaku MC—secara bergantian mempersilakan para tamu menuju ruang pertemuan dan lobi. Di dua tempat tersebut telah disediakan jamuan makan. Rombongan Ibu Wali Kota, Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Kantor Kemenag, Camat, Lurah, dan para pejabat setingkat ditempatkan di ruang pertemuan. Sedangkan tamu undangan lainnya disilakan ke lobi. 

Saya mengajak Pak Dhiedas—tamu dari SD IT Bina Insani—ke lobi. Beliau menjabat wakil kepala sekolah bidang sarana dan prasarana. Kebetulan Bu Widi, Kepala SD IT Bina Insani, tidak bisa hadir. Pak Dhiedas ditugasi untuk meghadiri undangan kami.

Setelah memastikan Pak Dhiedas mengambil makanan, saya pun ikut ambil makanan. Lalu cari tempat duduk. Saya pilih kursi yang menghadap meja resepsionis. Sembari makan, saya memandang tamu-tamu yang berada di sekitar saya. Sebagian adalah wali murid SD Islam Hidayatullah 02. Di antara mereka, ada yang mengajak anaknya. Setidaknya ada lima anak yang saya lihat di lobi. Iqbal, Daffa, Nadia, Aza, dan Itaf.

Ups, Daffa makan sembari berdiri. Kursi di dekatnya sudah terpakai semua. Saya melihat-lihat di tempat lain, barangkali masih ada kursi untuk Daffa. Nihil. Apa yang mesti saya lakukan? Bagaimana dengan kursi yang saya gunakan? Apa susahnya mengalah? Masalahnya, saya pun belum selesai makan. Bila Daffa saya minta makan sembari duduk di kursi, sedangkan saya malah makan sembari berdiri, apakah itu baik? Mengapa tidak barengan saja? 

“Mas Daffa, sini!” saya berkata demikian sembari melambaikan tangan.

“Pak Kambali, di mana?”

“Mas Daffa, tubuhnya masih kecil. Pak Kambali kurus. Jadi, kursi ini bisa kita pakai untuk berdua.”

Jadilah kursi itu diduduki berdua, saya dan Daffa. Namun, itu tidak berlangsung lama. Kecepatan makan saya jauh lebih tinggi. Saya lebih dulu selesai makan. Saya persilakan Daffa menggunakan sepenuhnya kursi tersebut. Saya pilih keluar lobi, menuju tempat pembagian suvenir tamu. Barangkali sudah ada tamu yang hendak pamitan. Ternyata masih sepi. Para tamu masih menikmati makan. Lalu saya beralih tempat. Saya duduk di depan tempat wudu putri. 

Sesaat kemudian, dari berbagai penjuru mulai terdengar azan Magrib. Tiba waktunya untuk segera salat, tetapi saya bimbang: salat di mana? Di musala TK atau di musala SD? Musala TK ada di bawah (tidak di lantai 3) tetapi agak jauh. Musala SD lebih dekat tetapi perlu naik ke lantai 3. Di tengah-tengah kebimbangan itu, saya dibuyarkan pemandangan di depan saya. Sejumlah anak berlarian. Dari arah lobi menuju tempat wudu putri dan tempat wudu putra. Saya sangat paham dengan wajah anak-anak tersebut. Ya, mereka adalah murid-murid kelas 1 SD Islam Hidayatullah 02. Mereka tampak gembira dan bersemangat. Saya penasaran: apa yang hendak mereka lakukan? Yang membuat saya khawatir: orang tua mereka tidak terlihat. Saya duga, orang tua mereka masih di lobi menyelesaikan makan. Lalu anak-anak ini mau apa?

Saya berusaha bersikap wajar sembari memperhatikan dengan rasa was-was. Anak-anak putra masuk tempat wudu putra. Anak-anak putri masuk tempat wudu putri. Tidak berselang lama, anak-anak putra keluar dari tempat wudu. Mereka berjalan mendekati saya. Kali ini dengan wajah tampak kebingungan. Daffa berada di antara rombongan anak-anak itu. Setelah cukup dekat, seakan mewakili teman-temannya, ia bertanya, “Musalanya di mana, Pak Kambali?”

“Oh, musala? Musalanya di lantai 3, lewat sini,” jawab saya sembari berdiri menunjukkan jalan menuju musala SD. Sengaja saya pilihkan jalan yang terdekat dan termudah. Di dekat tempat wudu putri ada tangga menuju musala, itulah jalan yang saya tunjukkan kepada Daffa dan teman-temannya. 

Anak-anak segera berlarian menuju musala lewat tangga. Namun, tidak berselang lama, Aza dan Nadia turun kembali.

“Kok kembali? Ada apa, Nad?” tanya saya.

“Saya ga bawa mukena, Pak. Ini mau pakai kaos kaki saja,” jawab Nadia.

“Di musala ada banyak mukena. Kalian bisa pakai.”

“Pakai kaos kaki saja, Pak,” Aza menimpali sambil berlari naik tangga. Dengan membawa kaos kaki.

Nadia dan Aza sudah naik, tetapi kali ini Najwa yang turun. Saya perkirakan ia pun hedak memakai kaos kaki. Namun, saat ngrogoh sepatunya, ia baru tersadar. Ia tidak membawa kaos kaki. Ia tampak kecewa. Saya segera memberi penguatan.

“Di musala ada mukena. Kalau Mbak Najwa ga bawa kaos kaki, pakai mukena yang di musala saja,” 

“Saya bareng Mama saja,” kata Najwa.

Najwa memakai sepatunya dan berlari menuju lobi. Lalu ia kembali bersama mamanya

“Di musala ada mukena. Ibu dan Mbak Najwa bisa memakainya,” kata saya.

“Oh, njih. Wudunya di mana, Pak?” Tanya mama Najwa.

“Di sini, Bu. Lalu ke musalanya lewat tangga ini.”

Matur nuwun, Pak.”

Saya sudah tidak bimbang lagi. Saya mantap, salat di musala lantai 3. Segera saya ambil wudu. Kemudian menyusul anak-anak di musala lantai 3. Anak-anak berjemaah. Ada 2 anak perempuan—Aza, Nadia—dan 4 anak laki-laki—Daffa, Rayya, Iqbal, Itaf. Imamnya, Pak Bayu, papa Iqbal.

Akhirnya saya berjemaah dengan rombongan lain. Najwa dan ibunya ikut rombongan ini. Bahkan, saya juga melihat Valda dan ibunya. Alhamdulillah. Saya sangat bersyukur sekali. Saya meyakini, kerja keras Bu Wiwik dan guru-guru sangat berkontribusi dalam membentuk perilaku anak-anak pada Jumat (17/03/2023) senja itu. Saya merasa perlu berterima kasih sekaligus mengapresiasi kegigihan dan kerja keras teman-teman guru. Saya sampaikan melalui chat di grup SD Islam Hidayatullah 02 pukul 20.00 pada hari itu juga. 

Ada salah satu respons yang saya perhatikan dengan saksama.

“Alhamdulillah.. Masyaallah, tadi sepertinya Daffa mengajak teman-temannya salat Magrib,” tulis Bu Eva.

“Bu Eva lihat di mana?” tanya saya.

“Di ruang prasmanan, tadi, Pak. Daffa, ‘Ayo salat Magrib, yuk!’ kurang lebih seperti itu. Kalimat persisnya, saya lupa, Pak.”

Saat melihat anak-anak berhamburan ke tempat wudu, saya sempat berburuk sangka. Saya was-was dan begitu khawatir anak-anak berulah yang tidak semestinya. Namun, ternyata anak-anak bermaksud untuk salat Magrib. Rasa was-was dan kekhawatiran yang tadi muncul, seketika hilang. Tergantikan dengan rasa bangga dan kagum. Mereka begitu bersemangat untuk salat Magrib. 

Semoga Allah memudahkan murid-murid SD Islam Hidayatullah 02 dalam melaksanakan salat lima waktu dan mengistikamahkannya. Amin. (A1)

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *