Bel berkumandang ke seluruh penjuru sekolah. Para murid bersiap wudu. Mereka melipat lengan baju dan celana masing-masing. Kapten kelas memimpin tepuk dan niat wudu. Bu Wiwik memilih murid putra untuk keluar kelas terlebih dahulu. Mereka menuju tempat wudu. Murid putri mengekor.

Setelah berwudu, para murid membaca doa, kemudian menuju musala. Mereka duduk di saf yang telah ditentukan. Sembari menunggu waktu zuhur, para murid melantunkan asmaulhusna. Waktu zuhur pun tiba. Itaf mengumandangkan azan. Jemaah menjawab azan tersebut. Salat sunah qabliyyah dilaksanakan.

Pak Kambali menunjuk salah seorang murid putra untuk mengumandangkan ikamah. Salat Zuhur berjemaah dimulai. Hening.

“As-salāmu’alaikum wa raḥmatullāh. As-salāmu’alaikum wa raḥmatullāh,” lafaz salam imam menandai berakhirnya salat.

Zikir dan doa menggema di dalam musala. Pak Kambali menyilakan para jemaah untuk salat sunah ba’diyyah Zuhur. Sebagian besar jemaah melaksanakannya. Pun Daffa.

Daffa duduk di saf kedua. Langit duduk di sebelah kanannya. Bu Wiwik duduk persis di belakang keduanya. Bu Wiwik tertawa geli melihat tingkah kedua muridnya itu. Bagaimana tidak?

Langit (paling kanan) dan teman-temannya berpose setelah menyelesaikan tugas

Saat Daffa melaksanakan salat ba’diyyah Zuhur, Langit memantau gerakan salat Daffa. Dari awal hingga selesai. Sesekali Langit membetulkan gerakan Daffa yang menurutnya kurang tepat. Daffa tak masalah. Ia mengikuti apa yang Langit anjurkan pada dirinya.

“(Gerakan) Salamnya nggak gitu. Gini lo,” kata Langit sembari mempraktikkan gerakan yang menurutnya benar.

Langit menolehkan kepalanya ke kanan. Jeda. Lalu menoleh ke kiri. Daffa memperhatikan apa yang dilakukan Langit. Sejurus kemudian, Langit memegang kepala Daffa. Ia hendak menolehkan kepala temannya itu.

Bu Wiwik sempat khawatir. Jangan-jangan Daffa marah diperlakukan begitu oleh Langit. Bersyukur, kekhawatiran itu tak terbukti.

“Iya, Ngit. Aku bisa sendiri,” respons Daffa sambil menepis tangan Langit.

Daffa menyimulasikan gerakan yang diragakan Langit sebelumnya.

“Nah, gitu dong!” seru Langit dengan suara level satu.

“Aku tu udah tahu, tapi aku lupa,” jelas Daffa membela diri.

Interaksi keduanya sangat menggelikan sekaligus menggemaskan. Tak ada rona marah sedikit pun, khususnya dari Daffa. Daffa telah membuktikan kepada Langit bahwa ia bisa. Demikian pula Langit. Dia rela menangguhkan keinginannya salat ba’diyyah demi “mengawasi” gerakan salat teman baiknya.

Apa yang dilakukan Langit dan Daffa sungguh manis. Kepedulian Langit kepada temannya patut diacungi jempol. Terlebih, dalam hal salat. Begitu pun Daffa. Ia berbesar hati mengakui kekurangannya. Hingga pada akhirnya ia berhasil membuktikan bahwa ia bisa.

Tak mudah menjadi Daffa. Sering kali banyak dari kita enggan menerima masukan dari orang lain. Padahal bisa jadi itu demi kebaikan kita. Pun yang dilakukan Langit. Menjadi seperti Langit tidaklah semudah yang dibayangkan. Tak jarang kita sengaja membiarkan hal yang nyata salah hanya demi menuruti rasa sungkan. Dari Daffa dan Langit kita belajar, bahwa niat yang tulus akan membuka jalan keridaan Allah.

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *