Mobil berhenti. Sesaat kemudian pintu belakang sisi kiri terbuka. Bu Ita—Wali Kota Semarang—keluar melalui pintu itu. Beliau bergegas menuju Pak Hasan—Ketua Dewan Pembina Yayasan Abul Yatama—yang menyambut kehadiran beliau.

“Maaf, Pak Hasan, saya terlambat. Kebetulan ada tamu. Saya harus menemuinya terlebih dahulu,” ucap Bu Ita.

Saya terkesan dengan kalimat yang diucapkan Bu Ita ini. Saya terpikir: mengapa beliau harus minta maaf? Bukankah beliau pejabat—tepatnya penguasa tertinggi di Kota Semarang?

Memang sedianya Bu Ita terjadwal hadir pukul 14.00. Lalu sehari sebelum pelaksanaan, Panitia dikabari, Bu Ita ada acara mendadak. Tidak bisa hadir pukul 14.00. Beliau menyanggupi hadir sekitar pukul 17.00.

Bu Ita tiba pukul 17.17. 

Sampai di sini, saya masih merasa gagal menemukan jawaban atas pertanyaan: mengapa beliau harus minta maaf?

Ya, sudahlah. Saya abaikan lintasan pikiran yang belum menemukan jawaban itu. Saya ikuti rombogan Bu Ita dan Pak Hasan yang berjalan menuju tempat acara. Jumat (17/3/2023) itu dilaksanakan acara peletakan batu pertama pembangunan gedung SD Islam Hidayatullah 02. Lokasinya, di sebelah barat lapangan futsal SD Islam Hidayatullah.

Bu Ita berbincang dengan Pak Hasan sebelum meletakkan batu pertama pembangunan gedung SD Islam Hidayatullah 02

Bu Ita duduk tepat di depan panggung. Di sebelah kiri Bu Ita, ada Bu Hasan dan Bu Khomsatun—Koordinator Satuan Pendidikan Kecamatan Banyumanik. Sedangkan Pak Hasan duduk sebangku dengan Pak Suwarto—Plt. Kepala Dinas Pendidikan Kota—dan Pak Mukhlis Abdillah—Kepala Kantor Kemenag Kota.

Bu Ita maju ke panggung setelah dipersilakan MC untuk memberi sambutan. Cukup panjang sambutan beliau. Saya menyempatkan diri untuk fokus dengan apa yang beliau sampaikan. 

“Yang saya hormati, Pak Hasan Toha. Pak Hasan ini adalah senior saya, saya dibimbing oleh beliau. Saya tidak mungkin lupa.”

Itulah potongan sambutan Bu Ita di bagian awal. Setelah itu, Bu Ita pun masih mengulang kembali permohonan maafnya. Kali ini dalam forum resmi sambutan Wali Kota. 

“Sebenarnya saya hendak datang siang, tapi tiba-tiba ada acara mendadak. Akhirnya bisanya sore. Pak Hasan, mohon dimaafkan, njih, terlambat. Kalau tidak datang, saya ga berani, takut kuwalat, saya.”

Otomatis pertanyaan mengapa yang tadinya saya abaikan, kini muncul kembali. Namun, kali ini mulai tampak alasannya. 

“Di zaman sekarang ini kita tidak bisa hanya ilmu pengetahuan saja yang dipelajari, tapi anak-anak juga harus dibekali agama. Akhlak dan iman harus diajarkan kepada anak. Hidayatullah termasuk lembaga yang bukan hanya mengajari murid-muridnya ilmu pengetahuan, tapi juga mengajarkan ilmu agama. Ini tadi adalah bukti nyata. Begitu saya datang, anak-anak mengajak salim.”

Murid SD Islam Hidayatullah 02 mengajak Bu Ita salim

Bagi saya, pernyataan Bu Ita kali ini sangat penting. Saya sempatkan mencatatnya di HP. Bahkan, ini memberi petunjuk jawaban atas pertanyaan “mengapa” yang sempat saya abaikan. Bu Ita menganggap penting untuk membekali murid-murid dengan akhlak. Permohonan maaf beliau, bagi saya, termasuk contoh perilaku orang yang berakhlak. Demikian pula komitmen beliau untuk tidak melupakan budi orang lain. Meskipun sudah menjadi wali kota, itu bukanlah penghalang bagi Bu Ita untuk sekadar memohon maaf.

Bu Ita berpose bersama pejabat pemerintah Kota Semarang dan pengurus Yayasan Abul Yatama

Memang akhlak sangat penting, apalagi dalam dunia pendidikan. Dalam segala bidang dan kondisi, akhlak akan selalu sangat dibutuhkan. Beda halnya dengan mata pelajaran lainnya. Dulu saya pun mendapat pelajaran seni tari. Waktu SMP. Namun, saat ini saya sangat jarang—untuk tidak mengatakan tidak pernahmenggunakannya. 

Bekerja di bidang apa pun, pastilah akhlak sangat dibutuhkan. Maka sudah sepatutnya pendidikan akhlak mendapat perhatian yang serius, terutama dalam dunia pendidikan. Bukankah Rasulullah diutus pun untuk menyempurnakan akhlak manusia? (A1)

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *