Hari itu (Selasa, 30/8) Bu Layla tidak masuk sekolah. Beliau sakit. Afsheen dan Haidar—anak Bu Layla yang masing-masing berusia 6 tahun dan 3 tahun—juga sakit. Saya menerima permohonan izin beliau pukul 05.31. Saya jawab permohonan itu. Sekaligus saya ikut mendoakan Bu Layla agar tetap sabar dan segera diberi kesembuhan. 

Guru tidak masuk itu identik dengan jam kosong. Itulah kesan yang muncul di pikiran saya. Selama 12 tahun ditugasi sebagai wakil kepala sekolah bidang kurikulum, 2 tahun di SMP dan 10 tahun di SD, kesan itu begitu mendalam. Jam kosong di SD berbeda dengan jam kosong di SMP. Secara usia, siswa SD tidak lebih dewasa dibanding siswa SMP. Saat jam kosong, dengan diberi tugas tanpa ditunggui guru, siswa SMP tetap dapat menyelesaikan tugas tersebut secara kondusif. Bisa jadi ada siswa yang tidak mengerjakan, tetapi biasanya jumlahnya tidak banyak. Sedangkan siswa SD, bila tanpa ditunggui guru, tugas bukan hanya tidak terselesaikan, melainkan kelas menjadi sangat tidak kodusif. Maka jam kosong di SD harus dicarikan guru pengganti.

Karena kesan itulah, secara otomatis, begitu mendengar guru tidak masuk, saya langsung terpikir: berapa jam yang ditinggalkan, mata pelajaran apa saja yang diampu, siapa guru pengganti yang mengisi jam kosong, dan seterusnya. Termasuk, saat Bu Layla tidak masuk, saya masih terbawa dengan kesan itu. Saya berpikir mengenai pengisi jam yang ditinggalkan Bu Layla.

Hari itu Bu Layla terjadwal mengajar BAQ (Baca Al-Qur’an). Siswa dibagi menjadi tiga kelompok. Masing-masing diajar oleh Bu Layla, Pak Adhit, dan Bu Nurul. Secara kompetensi, Pak Adhit dan Bu Nurul layak untuk menggantikan Bu Layla. Namun, secara waktu, jelas tidak mungkin. Pada waktu yang sama Pak Adhit dan Bu Nurul juga mengajar. Di antara yang tersisa, tinggal saya yang secara kompetensi lebih dekat dengan Pak Adhit—saya pernah mengikuti sertifikasi guru Al-Qur’an metode Ummi. Masalahnya ada dua: saya kepala sekolah dan kegiatan saya padat. 

Selama 12 tahun bertugas sebagai wakil kepala sekolah, saya tidak pernah meminta kepala sekolah mengisi jam kosong. Sehingga muncul kesan: lucu jika kepala sekolah mengisi jam kosong. Tetapi kemudian muncul pertanyaan gugatan: apa dampak buruk lucu? Paling-paling ditertawakan. Siapa yang menertawakan? Ya, mereka yang menganggap lucu. Siapa yang menganggap lucu? Saya. Ada yang lain? Saya tidak yakin adakah selain saya yang menganggap lucu. Bagaimana dengan dampak buruk kepada anak? Tidak ada. Adakah dampak buruk yang harus ditanggung sekolah? Tidak ada. Bila demikian, kepala sekolah bukanlah masalah.    

Lalu bagaimana dengan kegiatan saya? Haruskah saya jadwal ulang? Adakah dampak negatif jika saya tunda kegiatan tersebut? 

Memang, penjadwalan ulang akan berakibat pada tertundanya kegiatan. Namun, harus saya akui, mengisi jam BAQ diberi prioritas daripada kegiatan lain di hari itu. Jadi, padatnya kegiatan saya juga bukan masalah. 

Sembari berpikir, saya juga berkonsultasi ke Kepala Divisi QLC, Pak Aris. Penjaminan mutu pembelajaran Al-Qur’an di SD Islam Hidayatullah 02 adalah salah satu tugas QLC. Salah satu yang beliau sarankan: kelompok Bu Layla digabung dengan kelompok Pak Adhit atau Bu Nurul. 

Saya sempat tergiur dengan saran Pak Aris. Namun, saya berpikir: itu tidak efektif, baik untuk kelompok Bu Layla maupun untuk kelompok Pak Adhit/Bu Nurul. Akhirnya, saya putuskan: saya yang mengajar kelompok Bu Layla.

Selama 60 menit saya membersamai kelompok Bu Layla. Ada 9 anak, tidak hadir 1 anak. Kelompok ini memang heterogen. Ada yang jilid 5, jilid 3, dan ada yang jilid 2. Yang mengesankan saya: ada dua anak yang istimewa, beda jauh dari teman-teman lainnya. Karena hal ini, saya sangat ingin mendiskusikannnya dengan Bu Layla. Ini temuan yang harus ditindaklanjuti.

“Yang satu, memang suaranya pelan, Pak Kambali. Tetapi bacaannya standar,” jelas Bu Layla.

“Bagaimana dengan yang satunya?”

“Itu yang dulu, awal tahun, saya laporkan Pak Kambali.”

“O, itu.”

Ya, saya masih ingat Bu Layla pernah menyampaikan hal itu. Di pertengahan Juli 2022. Tetapi saat itu, saya cenderung kurang yakin. Saat itu Bu Layla baru bertemu satu kali dengan anak itu, jadi saya anggap itu baru hipotesis yang masih perlu dibuktikan.

Kali ini, hipotesis itu terbukti. Bahkan, saya mengalaminya secara langsung.

Masyaallah, ternyata sangat banyak manfaatnya ketika kepala sekolah masuk kelas. Permasalahan di kelas terbaca secara langsung. Diskusi mengenai tindak lanjutnya menjadi lebih efektif disebabkan persepsi yang sama antara guru dan kepala sekolah. Bahkan, saya juga mendapat bonus: membersihkan hati. Sebelumnya muncul prasangka. Setelah masuk kelas, menjadi jelas semuanya. Memang sering kali saya merasakan, setiap takdir Allah pasti ada hikmahnya. (A1)

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *