Siang yang terik. Dua pendingin ruangan di kelas terasa masih kurang untuk menyejukkan raga. Keriuhan suara para siswa makin membuat suasana tak nyaman. Bu Wiwik sedang membimbing beberapa siswanya yang butuh pendampingan dalam mengerjakan tugas.

“Anak-Anak, Bu Wiwik minta tolong jangan berisik, ya. Ngobrol boleh, tapi cukup level 1. Kasihan teman kita yang belum selesai mengerjakan tugas jadi kurang bisa fokus kalau kelasnya berisik,” pinta Bu Wiwik.

Rupanya beberapa siswa tak mendengar instruksi Bu Wiwik. Terpaksa, Bu Wiwik menyebut nama siswa-siswa tersebut supaya menurunkan level suaranya. Cukup dipanggil nama dan diberi isyarat, mereka sudah paham maksud Bu Wiwik.

Murid-murid kelas 1E sedang berdiskusi sambil mengerjakan tugas

Kejadian ini mengingatkan Bu Wiwik akan pengalamannya magang di SD Al Hikmah, Surabaya. Kala itu, selama tiga hari, ia mengamati pembelajaran di kelas 1E. Salah satu hal yang menarik perhatian Bu Wiwik adalah gaya bicara guru kelasnya: Ustaz Setiyo. Beliau tidak bersuara keras. Intonasinya juga lembut. Meski demikian, seisi ruangan dapat mendengar suara beliau. Seharian, Ustaz Setiyo tak pernah sekali pun menaikkan volume suaranya saat berbicara. Ketika suara anak-anak mulai tinggi pun, beliau tetap tenang dan lembut.

Hal menarik lainnya adalah suasana kelas yang cukup tenang dan kondusif selama pembelajaran. Meskipun para siswa sedang berdiskusi dalam kelompok masing-masing, percakapan mereka tetap dalam level suara satu. Kesepakatan kelas ini sepertinya sudah dipahami dan diinternalisasi oleh para siswa.

Bu Wiwik merasa takjub akan apa yang disaksikannya. Ia lantas mengorek keterangan dari Ustaz Setiyo langsung. Beberapa kali beliau menekankan pentingnya refleksi dan evaluasi, sebagaimana diceritakan dalam tulisan ini: Tak Mau Rugi.

Penggunaan level suara, serta pelibatan siswa dalam refleksi dan evaluasi menjadi hal paling berkesan bagi Bu Wiwik dalam kesempatan magang di kelas ini. Berbekal pengalaman tersebut, Bu Wiwik menerapkannya di kelas. Kesepakatan kelas tersusun dan dipahami para siswa. Refleksi dan evaluasi juga selalu dilaksanakan setiap hari. Oleh-oleh dari Al Hikmah tak boleh hanya dilaporkan saja. Harus diaplikasikan.

Rupanya, implementasinya tak semudah apa yang dibayangkan. Para siswa sering kebablasan saat mengobrol dengan teman(-teman)nya. Suasana kelas menjadi gaduh. Suara Bu Wiwik tak cukup keras untuk dapat mengalahkan keriuhan kelas. Jika sudah begitu, jurus-jurus jitu perlu diujicobakan. Bu Wiwik harus tetap tenang. Cukup panggil nama siswa yang gaduh, beri isyarat, mereka akan paham. Kelas kembali tenang.

Pernah suatu ketika Bu Wiwik mengajak para siswanya merasakan langsung bagaimana nyamannya kelas yang tenang (bukan senyap).

“Tepuk Ikan!” ajak Bu Wiwik, memecah kegaduhan.

“Berenang. Cari makan. Perut kenyang. Tenang!” jawab para siswa sambil meragakan gerakannya.

“Anak-Anak, sekarang Bu Wiwik menyilakan kalian mengobrol dengan teman di sebelahmu. Namun, karena mengobrolnya berdekatan, jadi gunakan level suara …?”

“Satu!” seru para siswa.

“Bu Wiwik beri waktu dua menit.”

Dalam durasi dua menit itu, para siswa mengobrol dengan teman di sebelah mereka. Meski semua siswa mengobrol, suasana kelas tidak gaduh. Bu Wiwik mengajak para siswanya membandingkan bagaimana perbedaan suasana sebelum dan sesudah berbicara dengan level satu. Mereka menyimpulkan sendiri.

“Tadi, berisik sekali, Bu Wiwik. Sampai telingaku sakit, soalnya Daffa teriak-teriak,” respons Hafidz.

“Kalau kita bicaranya level satu, jadinya nggak berisik,” Aza menimpali.

Diskusi mengalir. Para siswa paham manfaat penggunaan level suara dan kepatuhan terhadap kesepakatan kelas.

Tak dimungkiri, peristiwa serupa dapat terulang lagi dan lagi. Guru tak boleh bosan dan enggan untuk mengulang kembali jurus-jurus jitunya. Jurus satu tak mempan, masih ada seribu jurus lain yang belum dilancarkan. Guru iku ora kena kentekan lakon.

Bagikan:
One thought on “Oleh-Oleh”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *