Aku sungguh benci dia. Dia hanyalah biang rasa malu bagiku. Pertemuan dengannya adalah saat yang paling membuatku menderita. Apalagi bila itu terjadi di depan orang banyak. Kehadirannya menjadi perusak citra diriku. Jika dia datang ketika aku sedang tertawa renyah bersama teman-temanku, seketika tawa riangku musnah. Jika dia datang ketika aku sedang riuh rendah bergurau, seketika senda gurauku menjadi kacau. Jika dia datang ketika aku tengah bernyanyi riang, seketika laguku mendadak sumbang.

Pekerjaannya memasak. Setiap hari dia membuat beraneka makanan dan menjajakannya di sebuah sekolah. Entahlah, kenapa para guru dan siswa di sekolah itu setia menjadi pelanggannya? Apakah itu karena cita rasa masakannya berhasil memanjakan selera lidah mereka, ataukah mereka sekadar iba menyaksikan duka nestapanya. Ya, barangkali, sebenarnya mereka tidak berniat membeli makanan yang dijajakannya. Boleh jadi, mereka hanya ingin mengapresiasi ketabahannya sebagai seorang perempuan yang menderita cacat mata. Atau, mereka terdorong untuk membayar kegigihannya sebagai seorang janda yang harus menghidupi dirinya sendiri dan membesarkan anak semata wayangnya.

Suatu hari, ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar, dia datang ke sekolahku. Pada jam istirahat, dia menghampiriku sekadar untuk menyapaku. Mendadak derai tawaku terhenti. Suasana riang penuh canda siang itu segera berubah menjadi senyap dan kaku. Semua mata menatap tajam ke wajahnya.

Betapa malunya aku! Tega-teganya dia melakukan ini kepadaku! Tak kuacuhkan kehadirannya. Sejenak kupelototi dia dengan tatapan penuh kebencian, lalu kubuang muka dan cepat-cepat aku lari, pergi darinya.

Sepulang dari sekolah, sampai di rumah aku ungkapkan kemarahanku kepadanya.

“Kalau kau hanya ingin menjadikan aku bahan cemooh, kenapa kau tak mati sekalian saja?!” bentakku tanpa terusik secuil pun perasaan berdosa.

Dia hanya diam seribu bahasa, membisu tanpa sepatah kata.

Keesokan harinya, salah seorang teman di sekolahku berkata, mengejekku, “Eee … ternyata ibumu hanya bermata satu, ya?”

Hancur hatiku mendengarnya. Berantakan perasaanku menghayatinya. Lumat jiwaku terlindas ucapan kawan dekatku. Luluh lantak hidupku tergulung ombak lidah beracun teman akrabku. Punah sudah impian masa depanku tersapu badai celoteh sahabat karibku. Ingin rasanya aku segera mengakhiri hidupku. Aku ingin mengubur diriku hidup-hidup. Tapi … yang lebih kuinginkan, dialah yang mesti segera enyah dari muka bumi!

Hingga beranjak remaja, tak sedetik pun kupikirkan segala yang pernah kukatakan kepadanya. Tak tebersit rasa iba seujung kuku pun kepadanya. Kepalaku berselimutkan amarah. Dadaku disesaki oleh gumpalan-gumpalan kebencian yang mulai membeku dan makin mengeras. Satu-satunya yang terbetik di benakku hanyalah … sesegera mungkin hengkang dari rumah. Maka … tak ada cara lain, aku harus belajar dan belajar keras sekuat kemampuanku. Kukerahkan segenap daya dan upaya agar aku meraih puncak prestasi di sekolah. Dengan begitu, aku berharap kelak kudapat kesempatan belajar di luar negeri.

***

Usahaku berbuah manis! Impianku menjadi kenyataan! Selepas sekolah menengah, aku mendapat beasiswa penuh untuk kuliah di luar negeri. Di negeri rantau, kilau bintangku tetap cemerlang. Prestasiku terus bersinar hingga aku dinobatkan menjadi sarjana. Masa depanku makin gemilang. Begitu lulus kuliah, aku dilamar untuk bekerja di sebuah perusahaan bonafide di negara tempat aku kuliah.

Gemerlap bintang yang kupahat di bangku sekolah masih setia mengikutiku hingga di dunia kerja. Karierku kian melambung. Tak pelak, kenikmatan dunia dapat kurengkuh dengan mudah. Bahkan, dalam tempo sekejap, surga dunia takluk di dalam genggamanku. Aku berhasil menjadi penguasa di negeri orang. Semua yang kuinginkan, bahkan melebihi keperluanku, telah kudapat: rumah megah, mobil mewah, dan … tak ayal, istri cantik dan dua anak ceria. Lengkap sudah alasanku untuk melupakan perempuan rapuh bermata satu dengan segala duka nestapanya yang mencabik-cabik masa kecilku itu.

***

Tak kunyana, hari naas tiba. Ibuku datang ke rumahku. Aku tak habis pikir, dari mana dia bisa menemukan alamatku. Bertahun-tahun dia tidak berjumpa denganku. Bahkan, dia juga belum pernah melihat anak menantu dan kedua cucunya yang kini menjadi mata air kebahagiaanku. Aku pun berani memastikan, dia tidak tahu bahwa dendamku terhadap masa kecilku yang penuh kehinaan karena cacat di wajahnya yang kehilangan sebelah mata itu terbalas lunas oleh kehadiran seorang bidadari cantik dan sepasang malaikat kecil di kehidupanku.

Ketika dia berdiri tepat di depan pintu rumahku, kedua anakku menertawainya.

“Berani-beraninya kau datang ke rumahku dan membuat anak-anakku ketakutan!” teriakku kepadanya, “Pergi dari sini! Sekarang juga! Dan jangan pernah kembali lagi!”

Menanggapi kata-kata kasarku, ibuku menjawab dengan tenang, “Oh, maaf, Tuan, rupanya saya salah alamat.”

Sejurus kemudian, dia membalikkan badan, pergi, dan lenyap dari pandanganku.

***

Entah, malaikat mana yang diutus untuk menyambangi jiwaku. Peristiwa itu mulai mengusik ketenanganku. Benih-benih perasaan berdosa mulai tumbuh di pikiranku. Tiap malam, bayang-bayang wajah ibuku menghiasi lamunanku menjelang tidur. Wajah tanpa sebelah mata itu selalu hadir melintas di anganku dengan sempurna. Ya, kecacatan fisiknya tak pernah gagal bersembunyi di balik kesempurnaan jiwanya. Senyum keikhlasan dan kesabaran selalu tersungging di bibirnya, bahkan ketika sedang dimaki dan dihardik olehku, … anak semata wayangnya, … darah dagingnya, … yang mestinya menjadi penyejuk pandangannya selama di dunia dan pusaka satu-satunya yang diizinkan untuk mengantarnya dengan untaian segala rupa doa hingga ke alam baka.

Seumur-umur, baru kali ini aku merasakan kerinduan kepada ibuku. Ingin rasanya aku dapat menyimpan dan mengabadikan tetesan pertama air mata kerinduanku kepada ibuku. Ah, … detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti pekan, pekan berganti bulan, dan bulan berhimpun hampir genap setahun. Aku benar-benar tak kuasa mengusir malaikat yang dikirim dari surga dengan misi khusus untuk mengetuk pintu keinsafanku. Makhluk langit itu sepertinya telah berhasil merobohkan tembok keangkuhan dan ketakaburanku terhadap ibuku.

***

Sepucuk surat berbalut sampul coklat singgah ke rumahku, atau lebih tepatnya istanaku. Kubuka sampulnya dan kubaca isinya: undangan reuni alumni sekolahku. Tak ayal, surat undangan ini membawa anganku melayang kian jauh ke seberang lautan. Kini seakan-akan tampak nyata di depan pelupuk mataku, sebuah rumah mungil, sederhana, tetapi teduh dan anggun. Terbayang jelas di anganku, pohon anggur yang tumbuh terawat di depan pintu utama. Batangnya merambat teratur di para-para yang menaungi jalan masuk rumah dari pintu hingga ke gerbang. Bila sudah masak, buahnya sering kubawa ke sekolah dan kujadikan media untuk mempererat persahabatan dengan teman-teman sekelasku.

Ya, aku amat berminat untuk datang ke reuni sekolahku. Itu bonus saja. Sejatinya, yang lebih membuatku tertarik untuk bertandang ke negeri kelahiranku adalah … aku berhasrat untuk menemui ibuku. Tak dapat kuingkari, hatiku didera kerinduan kepadanya, yang kian hari menghunjam kian dalam. Aku jadi penasaran, apa yang terjadi pada ibuku. Ya, rinduku sering berbuah penasaran, penasaranku terkadang berbuah kecemasan, kecemasanku sesekali berbuah penyesalan.

“Dik, pekan depan aku ada lawatan ke luar negeri lagi. Biasa, misi khusus dari perusahaan. Titip anak-anak, ya. Tapi jangan lupa, … jaga dirimu juga,” tulisku dalam sms kepada istriku, pada jam rehat siang suatu hari.

Sengaja aku merahasiakan rencana kunjunganku ke kampung halamanku. Bukan perjumpaan istri dan anak-anakku dengan teman-teman sekolahku yang kuhindari. Aku tak ingin mereka jatuh pingsan demi mengetahui bahwa ternyata perempuan letih yang kuusir dari rumah kami setahun silam itu sesungguhnya adalah ibu yang mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh, dan membesarkanku. Mereka bisa pingsan karena tidak terima punya mertua dan nenek cacat seperti itu atau justru karena muak mendapati jati diriku yang senyatanya anak durhaka yang biadab.

***

Hari yang kunanti tiba. Pertemuan kembali dengan teman-teman lama kulalui tanpa gairah. Masih terngiang nyaring dan jelas di telingaku, bagaimana mereka mengejekku dulu. Sebenarnya hinaan itu tidak dialamatkan kepadaku. Ibukulah sasaran penghinaan mereka. Teman-temanku menistakan ibuku lantaran cela di wajahnya. Ya, kelopak mata kiri ibuku selalu terkatup rapat karena memang rongganya kopong tanpa bola mata. Wajar bila mereka melakukan demikian. Mereka pasti tak pernah memikirkan bagaimana perasaan ibuku mendengar celoteh busuk dari mulut mereka. Tapi … kenapa justru sikap, ucapan, dan tindakanku kepada ibuku jauh lebih kasar daripada yang mereka lakukan?!! Huhhh!

Usai acara reuni, aku bergegas menuju rumah mungil yang dulu kuhuni berdua dengan ibuku, namun kini tampak kumuh dan reyot. Kuketuk pintu depan, tak kudapati jawaban. Hanya cicit tikus yang menyambut kehadiranku dari balik pintu yang mulai lapuk atau semak belukar yang tumbuh liar sampai menutup lantai teras.

Hrmhrm …,” suara lelaki paruh baya berdeham membuyarkan lamunanku. “Ibumu sudah meninggal,” katanya.

Tak setitik pun air mataku menetes. Tidak pula aku menanggapi berita duka yang baru saja kudengar dari bekas tetanggaku. Dari tangannya yang diulurkan kepadaku, aku peroleh sepucuk surat. Kertasnya sudah kusut dan kumal. Tak jelas, sudah berapa hari, berapa pekan, atau berapa bulan tetanggaku menyimpan surat itu. Kubaca pesan hasil tulisan tangan ibu.

“Anakku tercinta, … Bunda selalu berpikir tentang dirimu sepanjang waktu. Juga … maafkan Bunda karena Bunda nekat datang ke rumahmu dan membuat anak-anakmu ketakutan. Bunda gembira, mendengar kabar kau akan datang ke reuni sekolahmu. Tapi sayang, … jangankan menjumpaimu di arena reuni hari itu, beranjak dari tempat tidur pun mungkin Bunda tak mampu lagi. Betapa menyesal, Bunda hanya menjadi biang kehinaan bagimu sepanjang masa pertumbuhanmu.


Ketahuilah, Anakku. Ketika kau masih sangat kecil dulu, kau mengalami kecelakaan hebat bersama ayahmu. Ayahmu meninggal di tempat kejadian, dan kau dilarikan ke rumah sakit. Dokter menyimpulkan bahwa kau harus kehilangan satu biji matamu yang sudah pecah dan tak mungkin diperbaiki.


Sebagai seorang ibu, Bunda tidak tega menyaksikan kau tumbuh dengan hanya satu mata. Maka, … Bunda relakan mata Bunda yang sebelah untuk dicangkokkan ke rongga matamu. Bunda bangga kepadamu, anakku, yang berhasil melihat seluruh dunia baru untukku, sebagai gantiku, dengan mata itu.


Dengan sepenuh cinta untukmu,

 

Bunda”

 

(disadur dari berbagai laman di internet)

Bagikan:

By Teguh Gw

Pekerja serabutan yang ingin bisa terus belajar dan belajar terus bisa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *