Sabtu (20/04/2024) dijadwalkan acara Halalbihalal. Bertempat di musala SD Islam Hidayatullah (baca: SDIH 01). Acara yang diperuntukkan keluarga besar LPI Hidayatullah, Yayasan Abul Yatama Semarang ini akan dimulai pukul 08.30. 

Terkait acara tersebut, seluruh pengabdi LPI, termasuk pengabdi SDIH 02 disilakan masuk kerja pukul 08.00—biasanya masuk kerja pukul 07.00. Ada rentang waktu 30 menit untuk perjalanan dari SDIH 02 menuju SDIH 01 sekaligus mengisi presensi. 

Ups, itu tidak berlaku untuk guru kelas: Bu Wiwik, Bu Eva, Bu Amik, dan Bu Shoffa. Keempatnya sepakat tetap masuk pukul 07.00. Ada apa? Ya, hari sebelumnya (Jumat, 19/04/2024) kami—saya dan keempat guru itu—berdiskusi tentang pembelajaran. Diskusi belum tuntas, tapi waktu asar sudah tiba. Semua sepakat: diskusi dilanjutkan hari berikutnya walau dengan risiko masuk kerja lebih gasik dari teman lainnya. Saya sangat mengapresiasi sikap empat guru ini.

Sabtu itu justru saya yang terlambat hadir. Sepeda motor saya mogok saat hendak berangkat dari rumah. Saya baru tiba di Sekolah pukul 07.15. Empat guru kelas hadir sesuai komitmen mereka: pukul 07.00 sudah tiba di Sekolah.

Begitu datang, saya segera membuka diskusi, melanjutkan pembahasan hari sebelumnya. 

“Kalau memasak nasi, saya masih bingung. Pakai magic com atau pakai kompor gas,” ungkap Bu Shoffa suatu ketika.

Ya, kala itu kami sedang membahas kegiatan memasak. Murid-murid hendak diajak memanen kangkung dan memanfaatkannya dengan kegiatan memasak. 

Mendengar ungkapan Bu Shoffa, spontan saya ingat Pak Aidil. Beliau guru di SMP Islam Al-Azhar Cairo Palembang. Pertengahan Desember 2023, beliau hadir di LPI Hidayatullah. Beliau menjadi trainer pada pelatihan di akhir tahun tersebut. Salah satu materinya tentang pembuatan media pembelajaran memakai aplikasi sejenis PPT. Ada tip dari Pak Aidil yang mengesankan saya. Tip dalam membuat media pembelajaran.

Baca juga: Ternyata …

“Bu Shoffa, tentang memasak nasi, saya lebih tertarik dengan prinsip yang disampaikan Pak Aidil, yaitu simply and …. Aduh, saya lupa istilahnya. Ibu-Ibu, ada yang masih ingat?” tanya saya.

Hening. Semua terdiam.

Itu, lo, yang maksudnya murid-murid itu sudah terbiasa dan familier. Apa, ya, istilahnya? Saya kok lupa. Masih ingat, Ibu-Ibu?” imbuh saya.

Tetap hening. Tak ada jawaban. Semua masih terdiam.

“Bu Wiwik, masih ingat?”

Bu Wiwik belum menjawab. Bu Wiwik tampak membuka HP. Dan beberapa saat kemudian Bu Wiwik menjawab dengan lantang, “Simply and reality.

“Oh, iya, itu. Apa tadi, Bu? Coba diulangi lagi!”

Simply and reality.

“Nah, iya. Simply and reality. Jadi, dalam konteks memasak nasi, menurut saya, kalau menggunakan prinsip reality, lebih cocok pakai magic com. Mengapa? Karena saya meyakini anak-anak lebih sering mendapati orang tuanya memasak nasi pakai magic com.”

Pagi itu, saya tersadarkan kembali atas pentingnya ilmu sebagai dasar amal. Dan saya juga penasaran, mengapa Bu Wiwik yang sebelumnya tidak bisa menjawab, setelah membuka HP menjadi bisa menjawab. Bahkan tepat jawabannya. Belum sempat saya menanyai ke Bu Wiwik, tiba-tiba saya terpikir, jangan-jangan saya pun sebetulnya sudah pernah membuat catatan. Biasanya, kalau saya mendapati hal-hal penting, dari mana pun sumbernya, saya catat di aplikasi WhatsApp. Akhirnya saya buka WhatsApp dan saya search. Masyaallah, ketemu. Benar, saya pernah menuliskannya. (A1)

Bagikan:
One thought on “Simplicity and Reality”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *