Pelajaran Akidah Akhlak telah usai. Ustazah Layla masih berada di dalam kelas. Ustazah Layla akan membersamai anak-anak yang akan tepuk wudu serta melafazkan niatnya. Saat itu anak-anak hendak melaksanakan salat Zuhur.

 Anak-anak sebagian sudah duduk di karpet. Lengan baju dan celana telah digulung. Mereka duduk menurut kelompok masing-masing. Kapten sudah berdiri di depan untuk memimpin tepuk wudu dan niat wudu.

Namun, sebagian masih sibuk merapikan buku dan alat tulisnya. Sebagian lagi masih menggulung lengan baju dan celana.

Suasana yang demikian berdampak terhadap anak-anak yang aktif, iseng menyebut-nyebut nama orang tua temannya. Cara menyebutkannya dengan disamarkan.

“Taf, di belakang sana ada ace,” suara seorang anak.

“Aku habis makan sari roti,” sahut Itaf.

“Bu, Itaf ngejek nama mamaku,” celetuk Langit.

“Itaf, nggak boleh ngejek-ngejek orang tua. Memang kamu mau, mamamu diejek?” tanya Bu shoffa sekaligus menasihati.

“Aku nggak pa-pa, mamaku diejek,” jawab Itaf.

Mendengar jawaban yang dilontarkan Itaf, sontak Ustazah Layla berdiri mendekati anak-anak dan beristigfar.

Astagfirullāh al’az{īm.”

“Ustazah Layla sedih. Betul-betul sedih. Mendengar yang disampaikan Mas Itaf, bahwa Mas Itaf rela kalau mamanya diejek. Ustazah tidak terima,” kata Ustazah Layla sambil menatap anak-anak.

“Ibu itu yang melahirkan kita, menyusui, membesarkan, merawat kita, mendidik kita, masak kita rela orang lain mengejek ibu kita,” Lanjut Ustazah Layla.

“Ketika mengandung, meskipun terasa berat ke mana-mana tetap dijaga. Bahkan saat ibu makan pun, makanan itu untuk anak yang dikandungnya. Tidak pernah mengeluh. Apalagi saat melahirkan, ibu bertaruh nyawa. Doa ibu itu mengguncangkan Arasy. Anak-anak tahu, apa itu Arasy? Arasy itu tempatnya Allah.”

Suasana kelas menjadi hening. Semua diam. Tak seorang pun yang berani bertanya, menyela untuk berkomentar seperti biasanya, apalagi bercanda. Semua mendengarkan kata-kata yang diucapkan Ustazah Layla. Ada yang menunduk. Ada yang memandang Ustazah Layla dengan saksama, seolah mencerna dalam-dalam kalimat yang dinasihatkan Ustazah Layla.

Satu per satu di antara mereka ada yang mulai menangis. Kalynn, kemudian disusul Nadia. Mereka hampir bersamaan pecah tangisnya. Sesekali mereka mengusap matanya dengan jilbab hijaunya.

Ustazah Layla mengulangi kalimatnya.

“Doa ibu, itu mengguncangkan Arasy. Doanya diijabah sama Allah,” kata Ustazah layla sambil menangis. “Ustazah juga seorang ibu, pasti akan menangis, sedih, dan kecewa jika anaknya rela ibunya diejek orang lain. Orang tua itu harus dihormati, lebih-lebih ibu. Jangan sampai kita menjadi anak yang durhaka, na’ūżu billāhi minżālik.”

Bu Amik juga menangis, tersentuh oleh kalimat yang diucapkan Ustazah Layla, bahwa doa ibu mengguncangkan Arasy. Doa ibu diijabah sama Allah.

Terlihat Itaf pun menangis. Namun, lebih dulu yang terlihat menangis adalah Haqqi. Haqqi menangis sampai bersuara. Air mata yang keluar pun lebih banyak. Kemudian Fillio. Fillio juga menangis. Yang lain mulai menunduk.

“Nanti, sesampai di rumah, kalian temui ibu kalian. Kalian harus minta maaf sama ibu. Bersujud di kakinya. Kalau perlu dicium kakinya, sambil minta maaf,” lanjut Ustazah Layla.

“Ustazah, ibuku pulangnya malem,” kata Sabrina.

“Mamaku juga, pulangnya malem,” kata Sultan.

“Mamaku hari Sabtu pulangnya, karena masih di Kudus,” kata Qaleed menjelaskan.

Seketemunya Ibu. Begitu ketemu langsung lakukan yang Ustazah tugaskan tadi,” kata Ustazah Layla.

“Minta maaf yang sungguh-sungguh. Dan tolong jangan diulangi lagi, mengejek orang tua kita. Mereka telah berjasa kepada kita. Bisa jadi, jika kita sukses, itu atas doa orang tua,” lanjutnya.

“Sudah, sekarang persiapan wudu. Yang menangis sudah cukup, saatnya kita salat Zuhur.”

Haqqi yang paling lama menangis. Entah apa yang berkecamuk dalam benaknya sehingga tangisnya sulit dihentikan. Bahkan sampai terdengar suara isaknya. Hingga teman-temannya melaksanakan tepuk wudu, kemudian menuju tempat wudu pun, tangis Haqqi belum selesai. Begitu juga Fillio dan Itaf.

Akhirnya mereka bertiga diminta Bu Shoffa untuk tinggal dulu di kelas. “Mas Itaf, Mas Fillio, dan Mas Haqqi tinggal di kelas dulu. Nanti jika tangisnya sudah reda silakan berwudu,” kata Bu Shoffa.

Tidak berapa lama, mereka bertiga menyusul berwudu.

Begitulah mereka. Sebenarnya jika mendapat sedikit sentuhan kata-kata yang berisi nasihat, mereka pun akan tersentuh. Semoga tangis itu berlanjut menjadi wujud bakti kepada ibu bapak mereka.

Bagikan:

By Suparmi

3 thoughts on “Tidak Terima”
  1. terima kasih ustazah layla, bu amik, bu shoffa sudah mengingatkan anak2 tidak memanggil/ menggunakan nama orang tua untuk bahan bercandaan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *