“Kamu masuk jam berapa?” selidik saya.

“Jam 6,” jawab murid kelas 6A itu. Ia salah satu di antara lima murid laki-laki yang berada di kelompok Ustazah Lu’luah. Total dengan perempuan sebanyak 12 murid mengikuti program takhaṣṣuṣ di kelompok tersebut.

“Hari apa saja kamu masuk jam 6?”

“Senin sampai Jumat.”

“Berarti ngaji pagi begini ini lima hari dalam sepekan?”

“Bukan. Senin dipakai untuk upacara.”

“Upacaranya gasik?”

“Iya.”

“Sabtu libur?”

“Sabtu masuk, tapi hanya ekstra.”

“Pulangnya jam berapa?”

“Sabtu pulang jam 10. Kalau Senin sampai Kamis jam 2.”

“Lha, kalau Jumat?”

“Setengah sebelas.”

“Temanmu yang kelas 6 ikut takhaṣṣuṣ semua?”

“Ada yang nggak ikut.”

“Yang nggak ikut berarti masuk jam 7? Wah, enak, dong!” goda saya.

“Yang nggak ikut takhaṣṣuṣ, ikut persiapan EBTAQ. Masuknya sama, jam 6.”

“Oh, gitu? Kelas 6 yang ikut persiapan EBTAQ ada berapa?”

“Sedikit.”

“Sepuluh anak?”

Nggak nyampai.”

Itulah sebagian percakapan saya dengan salah seorang murid SD Islam Pangeran Diponegoro. Ia sudah menyelesaikan hafalan 3 juz: juz 30, juz 29, dan juz 1. Kini, ia telah masuk juz 2. Di juz 2 ini, ia telah menghafal 6 halaman.

Kamis (22/02/2024) itu saya bersama tujuh pengabdi LPI Hidayatullah—Pak Eko, Pak Adi, Pak Adhit, Pak Aruf, Bu Wiwik, Bu Shoffa, dan Bu Ambar—berkesempatan ngangsu kawruh kepada Bu Dewi dan guru-guru SD Islam Pangeran Diponegoro dalam mengelola sekolah.

Waktu saya memohon izin, Bu Dewi memang meminta saya dan rombongan tiba di lokasi pukul 06.00. Murid-murid yang mengikuti program takhaṣṣuṣ sudah memulai aktivitas sejak pukul 06.00. Program takhaṣṣuṣ ini wajib bagi murid yang telah lulus EBTAQ. Sampai dengan hari tersebut ada sekitar 50% dari jumlah keseluruhan murid yang mengikuti program takhaṣṣuṣ.

Saya penasaran. Mengapa memilih jam pagi (pukul 06.00), padahal pulangnya pukul 14.00? Mengapa tidak siang saja (pukul 14.00—pukul 15.00)?

“Ada dua alasan, Pak Kambali. Pertama, hasil riset. Kedua, kami berharap Subuh anak-anak lebih terjaga,” jawab Pak Sahri, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan.

“Riset?”

“Iya. Jadi, sebelumnya, kami sudah melakukan di siang hari. Namun, banyak catatan dan hambatan. Setelah itu, kami lakukan evaluasi. Dan akhirnya kami coba pagi hari. Ternyata hasilnya jauh lebih baik. Akhirnya hingga sekarang tetap menggunakan pagi hari.”

Saya sangat terkesan dengan alasan pertama ini. Saya meyakini, proses yang dialami Pak Sahri dan kawan-kawan itu setidaknya membutuhkan dua hal: kejujuran dan kesungguhan. Tanpa kedua hal ini, mustahil terjadi perubahan, termasuk perubahan waktu takhaṣṣuṣ.

Saya jadi teringat pernyataan dari salah seorang guru di SD Al Hikmah, Surabaya, “Kekuatan pendidikan ada pada proses. Proses membutuhkan evaluasi. Evaluasi menghasilkan tindak lanjut. Tindak lanjut menghasilkan inovasi program.”

Baca juga: Tak Mau Rugi

Ternyata, Bu Dewi dan guru-guru di SD Islam Pangeran Diponegoro telah mempraktikkan apa yang saya dapatkan dari SD Al Hikmah. Pantas saja, Bu Dewi menyampaikan bahwa peminat SD Islam Pangeran Diponegoro sangat banyak, melebihi kuota, sehingga harus menolak sebagian pendaftar. Alhamdulillah, saya merasa mendapat inspirasi dari Bu Dewi: ilmu harus diamalkan.

Baca juga: Bersahaja

Bagikan:
One thought on “Mengamalkan Ilmu”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *