Waktu menunjukkan pukul 06.52. Tandanya, bel dan lagu Mars Hidayatullah akan segera berseru.

“Anak-anak, silakan mengambil botol minum, lalu diletakkan di meja depan, kemudian baris,” perintah Bu Wiwik.

“Lo, mau ke mana, Bu?”

“Mau khataman lagi, ya, Bu?

Beberapa anak melontarkan pertanyaan yang sama. Biar saja mereka bertanya-tanya dahulu.

“Pasti jawabannya Bu Eva dan Bu Wiwik ‘rahasia, dong’,” celetuk Rara.

Bisa dibayangkan jika anak-anak sampai hafal jawaban klise gurunya. Berarti tak hanya guru yang mengamati murid. Justru terkadang murid-murid lebih jeli mengamati dan menilai guru-gurunya.

Aktivitas Rabu (29/22/2023) pagi itu memang sedikit berbeda dari biasanya. Warga SD Islam Hidayatullah 02 (SDIH 02) mengadakan khataman Al-Qur’an bil-gaib di halaman samping bakal gedung SDIH 02. Jadi, kami memulai tahfiz juga di sana. Otomatis jadwal di kelas akan bergeser dan harus diatur ulang.

Alhamdulillah, acara berjalan lancar. Anak-anak lebih kondusif dari biasanya. Sehingga suasananya terasa khidmat.

Acara khataman selesai. Anak-anak diperkenankan istirahat sekitar 10—15 menit. Selanjutnya, kelas 1 terjadwal BAQ terlebih dahulu. Mereka menuju tempat ngaji-nya masing-masing.

60 menit berlalu. Kelompok BAQ Ustaz Adhit mulai berdatangan ke kelas.

“Mbak Salma kenapa?” tanya saya kepada gadis mungil yang biasanya selalu terlihat ceria.

Bisa dipastikan, Salma habis menangis. Hidungnya memerah, kantung matanya agak membengkak, dan sorot matanya menampakkan kesedihan. Sayangnya, ia belum sanggup menjawab pertanyaan saya. Ia butuh waktu.

Sampai hampir agak siang, mood-nya belum juga membaik. Saya tanya teman sekelompoknya, kurang jelas jawabannya. Yang saya pahami, Salma merasa kurang nyaman dengan Rafa dan Vira ketika mengaji.

Baru saja sebentar, saya sudah merasa kehilangan sosok Salma. Sosok yang biasanya selalu menghampiri, menyapa, mengobrol sembari lendotan di meja saya. Kini ia lebih banyak diam.

Pukul 10.30 diubah menjadi pelajaran Matematika. Biasanya, di jam tersebut, baru akan istirahat sampai pukul 10.45. Anak-anak duduk di karpet sesuai kelompoknya.

“Bu, duduknya gak mau dekat Vano,” lapor Salma.

Gak pa-pa, yang penting Mbak Salma menjaga diri, ya,” bujuk saya.

Vano tampak sedikit mengisengi Salma. Salma masih aman. Tidak ada laporan.

“Mas Vano, Mbak Salma itu masih sedih. Seharusnya dihibur, bukan diganggu,” tegur saya.

Vano mengangguk seolah paham.

Saya melanjutkan pembelajaran. Tetiba bel berbunyi pukul 10.45. Tentu hal ini memicu pertanyaan untuk anak-anak.

“Lo, itu bel apa, Bu?” celetuk sebagian anak.

“Itu seharusnya bel tanda masuk,” ucap saya.

“Itu bel istirahat,” iseng Vano.

“Bukaaan!” jawab Salma.

Perdebatan itu terjadi hingga Salma menangis. Tangisnya cukup keras. Hingga kelas hening, yang terdengar hanya suara tangisan.

Vano tampak merasa bersalah. Ia kebingungan juga setelah membuat Salma menangis. Saya memintanya bertanggung jawab untuk menenangkan Salma. Namun, ia  bingung akan caranya.

“Sekarang, Mas Vano, tolong diambilkan botol minumnya Salma.”

Yang hendak diambilkan minum, menggelengkan kepala.

“Mbak Salma boleh duduk di kursi dulu, menenangkan diri dulu, tidak apa-apa.”

Salma kembali menggelengkan kepala.

Sampai akhirnya Salma bisa kembali tenang setelah dibantu ditenangkan teman-teman yang ada di dekatnya.

Setelah menasihati Vano, saya melanjutkan lagi pembelajaran. Saya membagikan LK untuk dikerjakan secara individu. Yang sudah selesai, mengantre untuk dinilai. Saatnya giliran Vano.

“Mas Vano, ini jawabannya belum sesuai. Perintahnya loncatnya 2 kali, yang bawah 3 kali. Coba dihitung lagi, diperbaiki, ya, yang digarisi Bu Eva,” nasihat saya kepada Vano.

Gak mau, Bu,” tolaknya.

“Ayo diperbaiki dulu, masih ada waktu.”

Vano masih enggan. Ia seakan ingin bersegera mengikuti jejak teman-temannya yang sudah selesai. Padahal masih tersisa waktu sekitar 15 menit menuju persiapan jelang wudu salat Zuhur.

Saya mengamati dari kejauhan. Ia menyimpan LK di laci mejanya. Ia tidak mengindahkan perintah saya.  Padahal LK-nya belum dinilai. Alih-alih, Vano malah persiapan wudu.

“Belum persiapan wudu, Van,” tegur Gibran.

“Teman-Teman, yang sudah selesai, silakan membaca buku. Belum persiapan wudu,” aba-aba saya.

Terpantau Vano mengambil lagi pensil dan secarik kertas tadi, LK Matematika. Ia tampak murung dan tak lama kemudian menangis pelan di kursinya. Yang terjadi selanjutnya adalah, Salma mendekati Vano. Takjub saya, Salma berusaha menanyai Vano dan menghibur. Tidak tanggung-tanggung, Salma berinisitatif mengambilkan botol minum Vano. Vano menerimanya lalu meminumnya. Setelah itu, Vano kembali tenang dan mau memperbaiki tugasnya.

Kelapangan hati Salma patut diacungi jempol. Ia tak menyimpan dendam sedikit pun. Ia justru berbaik hati. Tidak hanya memaafkan, tapi juga membalas dengan kebaikan. Salma memilih menjadi golongan orang yang ihsan. Good job, Salma!

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *