Selasa (12/12/2023) SD Islam Hidayatullah 02 berkunjung ke Planetarium UIN Walisongo Semarang. Berangkat dari Sekolah pukul 07.45. Naik truk Brimob. Dua truk: satu untuk kelas 1 dan yang satunya untuk kelas 2. Saya ikut truk kelas 2.

Saya duduk paling ujung belakang sisi kanan. Naufal duduk di sebelah saya.

“Panas, Fal?” tanya saya.

“Nggak, Pak. Anget.”

“Mau pindah yang lebih adem? Sebelah sana.”

“Nggak, Pak. Enak di sini.”

“Wow, hebat! Iya, di pagi hari begini ini, sinar matahari justru bagus untuk kesehatan.”

Naufal tersenyum. Ia begitu menikmati perjalanan.  

“Batang! Pekalongan!” seru Naufal.

Saya bingung. Mengapa Naufal tiba-tiba menyebut kedua kota tersebut? Saya melihat sekitar jalan. Ketemu. Naufal baru saja membaca tulisan papan penunjuk. Di pinggir jalan tol yang baru saja dilalui terpampang papan penunjuk tersebut. 

Tak berselang lama, truk tiba di UIN Walisongo. Truk berhenti di tempat parkir. Anak-anak dan semua guru turun dari truk. Anak kelas 1 berbaris lalu berjalan menuju Planetarium. Didampingi oleh Bu Wiwik, Bu Eva, Pak Adhit, dan Bu Nika. Disusul barisan anak kelas 2. Didampingi Bu Shoffa, Bu Amik, Pak Aruf, Bu Ambar, dan saya. Langit berjalan di dekat saya.

“Langit tahu, tulisan itu bacanya apa?” tanya saya.

“Mana?” 

“Itu.”

“Auditorium,” jawab Langit. 

Cepat sekali Langit membaca tulisan itu. Ya, memang Langit sudah sangat lancar membacanya. Beberapa tulisan yang kami lewati saya tanyakan kepada Langit. Sembari saya sisipkan makna tulisan yang dibacanya. 

Rendra berjalan di dekat Langit. Saya sengaja mendekatinya.

Rendra, itu bacanya apa?” tanya saya.

“Mana?”

“Itu.”

“Ekonomi,” seru Rendra.

“Kalau yang itu?”

“Mana?”

“Yang itu, tulisan di gedung bagian itu,” jawab saya sembari menunjuk tulisan di depan.

“Yang atas itu?”

“Iya.”

“Planetarium. Yeay, sudah sampai Planetarium!” seru Rendra dengan sangat girang.

Saya sangat takjub. Bukan hanya berhasil membaca, melainkan lebih dari itu. Rendra sudah merasakan sendiri bahwa ia berhasil membaca. Dan tanpa diberi tahu orang lain, Rendra sudah paham bahwa ia sudah tiba di Planetarium. Alhamdulillah. 

***

Pulang dari Planetarium menuju Sekolah, saya naik truk kelas 1. Saya duduk di sebelah kanan Gibran. Bu Eva duduk di sebelah kiri Gibran. Di sebelah kanan saya ada Vano. 

“Pak Kambali, kapan-kapan kita ke sana lagi, ya,” rayu Vano.

“Ke mana?”

“Planetarium.”

“Vano suka?”

“Seru, Pak Kambali, tadi waktu ke matahari dan planet.”

“Oh, yang itu, ya, ya. Eh, Vano sudah bisa baca apa belum? Itu bacanya apa?”

“Krapyak.”

“Wow, Vano sudah bisa!”

Sepanjang perjalanan, Vano saya tunjukkan tulisan-tulisan yang kami lalui. Vano dengan lancar membacanya. Bahkan beberapa kali, Vano mendahului membaca sebelum saya tunjuk tulisan itu. Gibran, yang duduk di sebelah kiri saya, pun ikut membaca tiap tulisan yang saya tunjuk.

“Jaga jarak aman kendaraan,” seru Gibran.

“Mana, Gib?”

“Itu, Pak Kambali.”

“Oh, iya. Gibran sudah bisa baca tulisan panjang. Alhamdulillah.”

Saya sangat bersyukur. Inilah pengalaman bermakna yang sayang jika terlewatkan oleh anak-anak. Bahkan, ini saya yakini sebagai salah satu kesempatan yang tepat. Anak-anak sedang dalam kondisi senang. Mereka sangat antusias hendak jalan-jalan berkunjung ke Planetarium. Nah, dalam posisi senang seperti itu, anak-anak saya yakini akan dengan sangat mudah menerima pelajaran dari pengalaman langsung yang bermakna. Setidaknya anak-anak mulai menyadari bahwa membaca, yang diajarkan guru di kelas, ternyata sangat bermanfaat bagi mereka. (A1)

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *