Batu-batu berserakan di bawah kursi.

Tiba di ruangan, saya menaruh tas di kursi paling utara. Ada 4 kursi berderet. Pagi itu ada pemandangan berbeda pada 2 kursi yang di tengah. Tepatnya, di bawah kedua kursi tersebut. Batu-batu berserakan di sekitar kaki kursi. Saya hitung. Ada 5 batu.

Batu-batu berserakan di bawah kursi.

Siapa gerangan yang menaruhnya? Untuk keperluan apa? Atau adakah kerusakan dinding ruangan? Saya lihat sekilas dinding ruangan. Tidak ada tanda-tanda kerusakan. Lalu mengapa ada 5 batu itu di sini? Mungkinkah anak-anak bermain?

Saya sempatkan memfoto batu-batu itu. Saya kirim foto tersebut kepada Bu Wiwik. Saya sampaikan kepada beliau, “Coba ditanyakan kepada anak-anak, barangkali memang anak-anak yang melakukan dan mengakuinya!”

Nggih, Pak.”

Memang ada kemungkinan bukan anak-anak yang melakukannya. Bila yang menaruh orang dewasa (satpam, bagian kebersihan, atau tukang), tentu sangat disayangkan: mengapa tidak dikembalikan? Jika yang menaruh anak-anak, ini salah satu momen yang tepat untuk mengedukasi mereka. Sehingga sayang kalau dibiarkan begitu saja.

Beberapa saat setelah saya mengirim foto ke Bu Wiwik, muncul dua anak di depan ruangan saya. Keduanya berdiri di depan pintu. Sembari udur-uduran. Dengan suara lirih.

“Kamu dulu,” kata Adit.

“Kamu saja yang duluan,” Sultan menimpalinya.

Wajah keduanya menampakkan rasa takut. Saya pandang keduanya tanpa bersuara. Keduanya tampak semakin takut, hingga mereka tundukkan kepala. Saya menduga keduanyalah pelakunya. Namun, saya merasa perlu memastikannya.

Keduanya saya silakan masuk ruangan dan duduk di kursi. Saya perhatikan kembali wajah keduanya. Sudah tampak lebih nyaman, tetapi masih terlihat menahan rasa takut. Saya bukakan wadah kudapan. Saya sodorkan kepada keduanya. Mereka saling pandang dan tidak segera ambil. Saya yakinkan untuk mengambilnya hingga keduanya mengambil dan memakannya. Saya tunggu keduanya menyelesaikan makannya. Selesai makan, keduanya sudah tampak semakin nyaman. 

“Ada keperluan apa Mas Adit dan Mas Sultan?” 

“Maaf, Pak Kambali. Yang menaruh batu, saya dan Sultan,” jawab Adit.

“O, Mas Adit dan Mas Sultan. Kapan itu?”

“Kemarin, Pak.”

“Gimana ceritanya, kok bisa begitu?”

“Saya dan Sultan mainan.”

“O, begitu. Besok lagi kalau mainan tentu boleh, tetapi setelah selesai, barang-barang mainannya dikembalikan lagi, ya.”

“Ya, Pak.”

“Sekarang Mas Adit dan Mas Sultan mengembalikan batu-batu itu, ya.”

“Ya, Pak.”

Keduanya mengambil batu-batu di bawah kursi dan mengembalikan ke tempat semula—di belakang ruangan. Selesai mengembalikan batu, mereka melapor. Lalu saya minta duduk kembali. Keduanya saya ajak bicara. Sembari saya sisipkan beberapa nasihat. Setelah saya yakini keduanya paham, baru saya minta untuk masuk kelas kembali. (A1)

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *