Suasana makan siang di kelas
Sajadah dan mukena tertata rapi oleh Ridho, Aza, dan Najwa.

Salat Zuhur berjemaah telah usai. Ridho, Aza, dan Najwa masih istikamah menata mukena dan sajadah teman-temannya. Meski tertinggal untuk mengikuti kegiatan berikutnya, mereka tak keberatan melanggengkan kebaikan ini. Teman-teman lainnya menuju wastafel depan kelas. Mencuci tangan, lalu mengambil kotak katering.

 

Kapten kelas memimpin doa sebelum makan. Hari ini, kelompok “Polandia” duduk di karpet. Enam kelompok lainnya duduk di kursi masing-masing. Sejak “Kemah Mandiri” diresmikan, nama kelompok di kelas berganti menjadi nama-nama negara. Ada Argentina, Arab Saudi, Rusia, Indonesia, Polandia, Portugal, dan Inggris. Rupanya euforia piala dunia masih terbawa saat penentuan nama kelompok awal Januari lalu itu.

Tenda-tenda berjajar di sisi timur dan selatan kelas. Keberadaan tenda-tenda tersebut mengurangi jatah area untuk meja dan kursi. Tujuh meja tidak termuat jika harus dipasang semua. Pekan ini kelompok Polandia tidak kebagian meja. Pekan berikutnya akan bergantian kelompok-kelompok lain yang tidak kebagian meja.

Selain anggota kelompok Polandia, Rayya juga duduk di karpet. Sejak awal tahun ajaran baru, Rayya enggan bergabung duduk di kursi bersama teman-temannya ketika makan siang. Rayya, anak yang unik. Perfeksionis. Ia tak suka mencium aroma makanan dari kotak katering teman-temannya. Selama satu semester penuh itu pula, Rayya tak sekali pun menyantap jatah kateringnya.

Bu Wiwik melihat catatan observasi Rayya saat PPDB. Tertulis: picky eater. Kondisi tersebut dikomunikasikan kepada ibundanya. Benar. Rayya hanya mau makan nasi, telur, dan kerupuk saja.

“Bunda, jika Mas Rayya hanya mau makan nasi, telur, dan kerupuk, bisa disampaikan ke ahli gizi SDIH. Insyaallah beliau akan menyampaikan ke vendor kateringnya,” saran Bu Wiwik saat bertemu Bunda Rayya suatu pagi.

“Nggih, Bu. Insyaallah nanti saya sampaikan,” jawab Bunda Rayya.

Menu khusus untuk Rayya terpenuhi. Di atas lepak tertulis nama depan Rayya: Abraham.

“Rayya, ini maemnya. Ada nasi, telur, dan kerupuk,” ucap Bu Wiwik sambil menyodorkan kotak makan itu kepada Rayya.

“Aku nggak mau,” jawab Rayya menjauhi gurunya.

“Lo, ini sesuai permintaan Rayya. Coba dibuka dulu,” Bu Wiwik membujuk Rayya.

“Aku nggak mau,” tolak Rayya semakin menjauh.

“Nih, lihat. Hmmm, enak nih,” Bu Wiwik mencoba merayu Rayya.

Rayya semakin menjauh hingga terpojok di antara tembok dan meja guru. Ia menutup hidung dan mulutnya.

Bu Wiwik menghentikan aksinya. Jika dipaksa, tidak akan baik bagi Rayya.

“Ya sudah, Raya makan bekal dari Ibu saja, ya.”

***

“Bunda, Mas Rayya belum mau makan katering sekolah,” Bu Wiwik mengetik pesan Whatsapp.

“Nggih, Bu. Matur nuwun. Nanti anaknya (Rayya) saya tanyain lagi. Tadi saya tanya kog (jawabannya) mbulet 😊.”

***

Keesokan paginya, Bunda Rayya menyampaikan jika Rayya membawa bekal nasi dari rumah. Rupanya, Rayya tidak mau menggunakan lepak yang bersekat, tetapi bersusun. Kepekaan penciumannya menolak jika nasi dan lauknya terperangkap dalam satu ruang meski tersekat. Alhamdulillah, ada secercah harapan. Akhirnya Rayya bersedia menyantap makanannya. Meski makanan itu membawa dari rumah.

Bu Wiwik masih tertantang. Ia intens berkomunikasi dengan Bunda Rayya.

“Bunda, tadi sudah disediakan lepak susun untuk Mas Rayya, tapi Mas Rayya hanya incip sesendok saja, katanya enak yang dari Ibu. 🤭”

“Maaf, nggih, Bu, Rayya merepotkan 🙏😁.”

“Saya tanyain jawabnya sama, Bu. (Setelah itu) saya nggak boleh tanya-tanya katering lagi 🤭,” Bunda Rayya membalas chat  Bu Wiwik.

Hari pertama percobaan menggunakan lepak susun, Rayya mulai tertarik. Ia tidak antipati. Bahkan, Rayya bersedia mencicipinya. Tebersit ide nakal. “Kongkalikong” dengan sang Bunda.

“Mboten repot, Bun 🙏🏻😇. Besok bekal nasinya diumpetin aja, Bun. Saya coba bujuk dengan katering dulu 🙏🏻.”

***

Percobaan hari kedua.

Kapten kelas memimpin doa sebelum makan. Rayya duduk di karpet dekat gurunya.

“Rayya, hari ini Ibu lupa membawakan bekal nasi untuk Rayya. Rayya makan katering dulu, ya? Bu Wiwik sudah WA Ibu supaya diantarkan makan siangnya,” jelas Bu Wiwik.

“Lo, Ibu kok lupa, sih,” respons Rayya dengan gaya khasnya.

Rayya mulai membuka kotak katering khususnya. Ia lantas mengambil kerupuk dari dalam tas bekalnya. Kerupuk-kerupuk itu dipatahkannya hingga seukuran kuku ibu jari orang dewasa. Bu Wiwik menyendokkan nasi dan telur. Rayya meletakkan patahan kerupuk itu di atas nasi. Rayya menerima suapan Bu Wiwik.

Rayya (berkaus putih) sedang menyantap makan siang ditemani Bu Wiwik

Singkat cerita:

“Bunda, tadi saya bilang kalau Bunda lupa bawain nasi telur. Cuma bawa kerupuk. Alhamdulillah Mas Rayya mau makan katering. Hampir habis. Saya juga bilang: nanti Bu Wiwik nangis kalau Rayya nggak mau makan. Meski berkali-kali bilang nggak enak, saya agak paksa dengan pura-pura nangis. Akhirnya mau makan meski masih disuapi ☺️,” tulis Bu Wiwik dengan mata berbinar.

“Tadi bilang sama saya: besok suruh bilang sama katering nggak usah bikinin nasi telur, nggak enak🤭. Apa saya bawakan tempat makan kosong saja, nggih, Bu? Nanti minta tolong Bu Wiwik untuk memindahkan 😁,” jawab Bunda Rayya.

Sempat terlintas dalam benak Bu Wiwik untuk mengiyakan ide dari Bunda Rayya tersebut. Segera ditepis keinginan itu. Jika Rayya tetap menggunakan kotak makan dari orang tuanya, ia akan selalu berpikir bahwa nasi dan lauk yang ia makan adalah masakan ibunya. Hal tersebut mengkhianati tujuan awal “kongkalikong” yang sudah direncanakan.

“Tetap seperti tadi saja, Bunda. Kerupuknya dipisah dari nasi. Tetap dibawakan nasi untuk jaga-jaga🙏🏻,” jawab Bu Wiwik.

Rupanya, kongkalikong kali ini ketahuan Rayya. Ketika sang Bunda mengambil bekal nasi yang disembunyikan, Rayya memergoki. Hari ketiga harus kembali berhasil. Tidak ada lagi nasi “jaga-jaga”.

Bu Wiwik dan Bu Layla beradu pandang. Keduanya tesenyum. Senyum kemenangan. Rayya tak lagi tergantung pada masakan sang Ibunda. Ia telah berhasil menjadi anak yang legawa. Legawa menyantap makanan yang tak seenak buatan ibundanya. Legawa mencoba hal baru yang mungkin berat baginya. Kembali Bu Wiwik belajar. Setiap anak itu unik. Butuh teknik autentik agar masalah tak semakin membuat panik.

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *