Valda menjadi guru (pura-pura). Lintang (paling depan), Rendra (tengah), dan Kennard (paling belakang) menjadi muridnya.

Anak-anak duduk rapi di karpet. Mereka membentuk 7 banjar. Masing-masing banjar terdiri atas 3—4 anak. Setiap banjar merupakan kelompok duduk di kursi. Tiap kelompok diberi nama. Durian, Anggur, Pepaya, Stroberi, Apel, Ceri, dan Rambutan. Itulah nama-nama ketujuh kelompok tersebut. Semua anak dalam posisi menghadap ke papan tulis. Sesekali beberapa anak berbincang. Dengan suara level 1. Memang itulah kesepakatannya: bila ada kebutuhan mendesak dengan temannya, anak-anak diperkenankan berbicara. Dengan suara level 1. 

Di papan tulis, Bu Wiwik menuliskan kalimat matematika. Masih rumpang. Ada bagian yang belum lengkap. Anak-anak diminta menyempurnakan kalimat tersebut. Hanya satu kalimat. Tentang membandingkan dua bilangan. Bilangan yang ditulis tidak melebihi 50.  

“Tanda apa yang tepat untuk mengisi ini, Anak-Anak?” tanya Bu Wiwik sembari menunjuk titik tiga pada kalimat matematika.

“Lebih dari,” jawab anak-anak serempak.

“Betul! Alhamdulillah, anak-anak sudah bisa.”

Bu Wiwik menuliskan kalimat matematika kembali. Dengan bilangan yang berbeda dari sebelumnya. Lalu anak-anak menjawab secara bersama-sama pertanyaan Bu Wiwik. Setelah megonfirmasi jawaban anak-anak, Bu Wiwik membuat kalimat rumpang lagi. Demikian seterusnya hingga lima kali Bu Wiwik melakukannya.

“Sekarang coba Nadia maju ke depan mengisi ini!” 

Kali ini Bu Wiwik meminta salah satu anak untuk melengkapi kalimat rumpang di papan tulis. Nadia berdiri lalu menuju papan tulis. Ia ambil spidol lalu menuliskan jawabannya. Nadia tetap diminta berdiri di depan papan tulis oleh Bu Wiwik. 

“Teman-Teman, apakah jawaban Nadia sudah betul?”

“Betul,” jawab anak-anak serempak.

“Baik, sekarang Nadia yang menjadi guru dan membuat soal seperti Bu Wiwik dengan bilangan yang berbeda. Setelah itu, Nadia pilih satu teman sebagai muridnya untuk maju ke depan dan menjawabnya.”

Nadia melakukan apa yang ditugaskan oleh Bu Wiwik kepadanya. Ia pilih satu anak laki-laki untuk maju ke depan dan menjawabnya.

“Nah, sebelum Nadia duduk, Nadia periksa dulu jawaban temannya.”

“Sudah betul jawabannya, Bu,” kata Nadia.

“Alhamdulillah, Nadia boleh duduk di kursi. Sekarang, kamu gantian yang jadi gurunya,” kata Bu Wiwik kepada anak laki-laki yang tadi jadi murid Nadia.

Permainan guru-murid yang diskenario Bu Wiwik terus berlanjut. Setiap anak mendapat giliran. Tiap anak berkesempatan menjadi guru sekaligus menjadi murid. Yang menunjuk bukan Bu Wiwik, tetapi temannya sendiri. Semua anak antusias mengikuti permainan tersebut. Bahkan semua anak dapat menjawab dengan betul. 

Ups, ternyata ada 1 anak yang menangis. Rendra, namanya. Ia ditunjuk paling akhir. Berarti ia dapat kesempatan sebagai murid—menjawab soal. Tetapi ia tidak punya kesempatan jadi guru. Sudah tidak ada lagi yang ditunjuk menjadi murid. Bu Wiwik memanggil sebagian anak yang duduk di kursi. Mereka diminta duduk di karpet. Berbanjar rapi. Menghadap papan tulis. Memperhatikan “Pak Guru Rendra”. Tangis Rendra mereda. Ia tampak gembira dan bersemangat. Akhirnya, ia pun memperoleh kesempatan menjadi guru.

Diakui atau tidak, anak-anak akan merasa mendapat pengakuan ketika dirinya dilibatkan dalam permainan/kegiatan bersama teman-temannya. Kreativitas guru dalam merencanakan/melaksanakan skenario pembelajaran sangat berdampak pada motivasi belajar anak-anak. (A1)

Bagikan:
One thought on “Guru (Pura-Pura)”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *